CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

22 Oktober 2008

4. Tanahdatar, Monster, Sorga, Neraka, dan Malaikat

Meskipun Riemann wafat sekitar pertengahan abad ke-19, pikiran-pikiran matematiknya yang revolusioner itu memengaruhi ilmu pengetahuan, kesusastraan, filsafat, dan seni lukis Eropa pasca wafatnya. Pikiran-pikirannya dikembangkan juga oleh orang-orang Kristen, di antaranya untuk menjelaskan dari sudut-pandang ilmiah sorga, neraka, dan tempat tinggal para malaikat, roh-roh, dan bahkan Allah sendiri. Dr. Michio Kaku memerikan ruang hiper dengan menjelaskan dampak Riemann pada bidang-bidang ini. Untuk menjelaskan dimensi keempat, Kaku mulai dengan ruang dwidimensional lalu ke ruang tridimensional dan akhirnya ke ruang caturdimensional.

Apakah implikasi-implikasi ruang hiper – khususnya, hubungan dimensi lebih rendah dengan dimensi lebih tinggi – dalam uraian ini terhadap iman Kristen? Jawabannya ada di akhir tulisan ini.

Ruang Dwidimensional

Ruang dwidimensional diperikan Carl Friedrich Gauss dan Edwin A. Abbot. Mereka berdua memerikan ruang ini untuk memperjelas dimensi-dimensi yang lebih tinggi. Secara khusus, penjelasan Gauss tampaknya berasal dari pemikirannya tentang ruang hiper. Kita sudah tahu bahwa pemikirannya memengaruhi Riemann, salah seorang mahasiswanya.

Makhluk dwidimensional

Gauss memperjelas ruang hiper dengan memakai analogi makhluk dwidimensional. Bayangkanlah suatu makhluk dwidimensional. Bagaimanakah dia makan? Untuk menjawab pertanyaan ini, Gauss menciptakan – melalui eksperimen pikiran – orang-orang dwidimensional. Dunia mereka dibatasi oleh ukuran panjang dan lebar. Supaya bisa makan, mereka harus punya mulut yang menghadap ke sisi. Tapi kalau kita sekarang menggambarkan saluran pencernaan mereka, kita memerhatikan bahwa saluran ini benar-benar membagi tubuh mereka menjadi dua: dari mulut sampai dengan duburnya. Jadi, kalau mereka makan, tubuhnya akan terbelah menjadi dua bagian. Sebenarnya, saluran mirip pipa apapun yang menghubungkan kedua belahan tadi dalam tubuhnya akan memisahkan tubuh ini menjadi dua bagian yang terpisah. “Maka, orang-orang ini entah makan seperti kita dan tubuhnya menjadi dua bagian yang terpisah atau entah mengikuti hukum-hukum biologi yang berbeda,” Dr. Michio Kaku menyimpulkan.

Penduduk Tanahdatar

clip_image001

Penduduk Tanahdatar (gambar atas dan bawah) dengan berbagai bentuk geometrik punya bentuk kepala, mulut, dan mata yang dwidimensional. Di atas mereka (gambar atas), suatu bulatan tridimensional (bundaran di kiri) - mewakili manusia tridimensional - mendekati mereka yang tampak tenang dalam dunianya. Tapi begitu dipersepsi warga Tanahdatar, dia akan tampak tidak utuh, mirip gumpalan yang aneh, dan menakutkan di mata mereka (bundaran di kanan).

clip_image001[11]

clip_image001[6]

Seorang penduduk Tanahdatar (orang-orangan di kanan) yang dunianya dwidimensional akan kesulitan mempersepsi benda-benda tridimensional - seperti ruang-ruang - secara utuh.

Di antara orang-orang Kristen yang tertarik untuk membahas dimensi-dimensi ekstra ini lebih jauh adalah Edwin A. Abbot. Pendeta Kristen asal Inggris ini adalah direktur Sekolah Kota London. Pada tahun 1884, Abbot menulis dan menerbitkan novelnya yang secara mengejutkan sukses dan bertahan lama: Flatland: A Romance of Many Dimensions by a Square. Karena publik di Inggris terpukau oleh dimensi-dimensi yang lebih tinggi, novel Abbot segera laris di negara itu. Menjelang tahun 1915, novel itu mengalami cetakan ulang selama sembilan kali berturut-turut, disusul edisi-edisi yang terlalu banyak untuk dihitung masa kini.

Novel Flatland mengherankan. Untuk pertama kali, Abbot menggunakan kontroversi seputar dimensi keempat sebagai suatu sarana untuk mengungkapkan satire dan kritik sosial yang tajam. Dia mengecam orang-orang yang saleh dan kaku yang menolak mengakui kemungkinan adanya dunia-dunia yang lain. Boleh dikatakan novel karya Abbot tadi adalah suatu kritik terselubung yang halus terhadap kemunafikan yang halus dan prasangka yang menyesakkan yang berlaku umum di Inggris pada zaman itu.

Untuk memahami dimensi-dimensi lebih tinggi, Abbot mengajak kita melalui novelnya untuk membayangkan suatu dunia dwidimensional bernama Flatland, Tanahdatar. Ini mirip suatu dunia yang berada pada suatu permukaan yang datar dari sebuah meja.

Selain Tanahdatar, ada dunia manusia. Penduduk Tanahdatar berbeda secara unik dengan masyarakat manusia. Yang pertama diciptakan secara dwimensional, yang kedua secara tridimensional.

Karena kedua kelompok manusia ini hidup dalam dua dimensi yang berbeda-beda, kemampuan perseptualnya pun berbeda-beda. Penduduk Tanahdatar yang dwidimensional akan mengalami ruang hiper kalau mereka masuk ke dalam dunia tridimensional manusia. Kelompok manusia akan dipandang sebagai makhluk-makhluk aneh oleh penduduk Tanahdatar; penampakan seorang manusia tidak akan utuh bagi mereka. Dalam hubungan dengan penduduk Tanahdatar, kelompok manusia akan berperan sebagai semacam ilah dengan kekuasaan luar biasa karena mereka dengan mudah bisa masuk-keluar Tanahdatar tanpa diketahui secara utuh oleh penduduk Tanahdatar.

Kalau seorang penduduk Tanahdatar tersesat, seorang manusia dari dunia tridimensional bisa dengan cepat mengamati seluruh Tanahdatar. Caranya? Dia mengintai langsung ke dalam rumah-rumah, bangunan-bangunan, dan bahkan tempat-tempat tersembunyi. Kalau seorang penghuni Tanahdatar jatuh sakit, seorang dokter dari kelompok manusia bisa langsung mencapai bagian dalam tubuhnya dan melakukan pembedahan tanpa sekalipun memotong kulitnya. Kalau seorang penduduk Tanahdatar dipenjarakan, bagaimana bentuk konstruksi penjara itu? Karena Tanahdatar bersifat dwidimensional, penjara itu adalah suatu lingkaran yang mengurung penghuninya. Untuk mengeluarkannya dari penjara itu, seorang manusia bisa menanggalkan diri penghuni itu atau “mengupasnya” dari penjaranya, mengangkatnya ke dimensi ketiga lalu menaruhnya kembali ke tempat lain di Tanahdatar. Ketika seorang manusia memutar tubuh penduduk Tanahdatar itu 180 derajat dalam dunia tridimensionalnya, jantung mantan penghuni penjara dwidimensional itu berpindah dari sisi tangan kiri ke sisi tangan kanannya. Semua organ tubuhnya yang lain berputar dan berada sekarang pada posisi kebalikan dari kondisinya sebelum diputar. Bagi orang yang secara ketat tinggal di Tanahdatar, transformasi ini adalah suatu kemustahilan dari segi ilmu kedokteran.

Sesudah menanggalkan penghuni dwidimensional itu dari penjaranya dan memutar tubuhnya 180 derajat, manusia itu melontarkan penghuni itu ke udara. Segera dia mengapung melalui dunia tridimensional kelompok manusia.

Manusia tridimensional itu tampak seperti apa padanya? Mata seorang penghuni Tanahdatar yang dwidimensional hanya bisa melihat irisan-irisan datar dari dunia tridimensional manusia. Karena itu, manusia tridimensional yang melontarkannya ke udara akan tampak padanya seperti suatu benda jelek dan menakutkan baginya.

Kalau manusia itu memakai sepasang sepatu yang dibuat dari kulit hewan, bagaimana persepsi penghuni Tanahdatar tentang sepatu itu? Dia bisa saja melihat dua lingkaran kulit hewan yang mengambang di depannya.

Kemudian, dia melayang ke atas dan matanya melihat apa yang dalam dunia tridimensional disebut celana panjang yang dipakai manusia itu. Bagi penghuni dwidimensional itu, persepsinya tentang kedua lingkaran di bawahnya kini berubah warna dan menjadi pakaian. Lalu kedua lingkaran ini bergabung menjadi suatu lingkaran – pinggang manusia itu – dan terbelah menjadi tiga lingkaran lain dan berubah warna lagi – kemeja dan lengan manusia itu.

Sementara penghuni Tanahdatar dwidimensional itu terus melayang ke atas, dia melihat ketiga lingkaran ini melebur menjadi suatu lingkaran lebih kecil dari daging – leher dan kepala manusia itu. Akhirnya, lingkaran daging ini berubah menjadi suatu himpunan bulu rambut lalu mendadak lenyap sementara penghuni dwidimensional itu melayang di atas kepala manusia tridimensional itu.

Baginya, “manusia” itu misterius. Dia muncul seperti mimpi buruk, suatu koleksi yang sangat membingungkan dari lingkaran-lingkaran yang terus-menerus berubah-ubah berbentuk kulit hewan, pakaian, daging, dan bulu rambut.

Dengan belajar dari pengalaman penghuni Tanahdatar, kita kini beranjak lebih jauh. Kini, bayangkanlah apa jadinya kalau kita dari dunia tridimensional berhubungan dengan makhluk-mahkluk dari dunia (spasial) caturdimensional atau dari ruangwaktu pancadimensional? Pengalaman kita dalam dimensi spasial keempat tidak akan berbeda banyak dengan pengalaman penghuni Tanahdatar. Anggap saja bahwa kita “dikupas” dan ditanggalkan dari dunia tridimensional kita dan dilontarkan ke dimensi spasial keempat. Sementara kita melayang-layang melalui dimensi spasial keempat, kita melihat gumpalan-gumpalan muncul secara mendadak di depan mata kita. Gumpalan-gumpalan ini berubah-ubah warna, ukuran, dan susunan. Gumpalan-gumpalan ini kemudian lenyap di udara dan digantikan oleh gumpalan-gumpalan lain yang melayang-layang.

Beberapa situs di Internet memperjelas secara audiovisual Tanahdatar, penduduknya, dan dampak menakutkan dari perjumpaan mereka dengan manusia sebagai makhluk tridimensional. Salah satu di antara sekian banyak situs itu adalah http://www.flatlandthemovie.com/. Klik situs ini, lalu klik Trail dan muncul layar hitam. Klik tombol play di bawah layar itu dan Anda bisa menonton animasi tentang Tanahdatar. Yang lain bisa Anda akses melalui youtube. Bukalah http://www.youtube.com/, kemudian ketiklah pada kotak dialog untuk video agak ke bawah dan ke kanan frasa dr. quantum - flatland. Penjelasan yang mendasar dan sederhana diberikan seorang tokoh berjubah kuning dan jingga dan celana biru muda, berkaca mata, sebagian rambut uban dan tampak mirip Superman. Kliklah penjelasannya dan Anda akan menyaksikan dalam bahasa Inggris yang sederhana dan jelas animasi yang menawan dari dunia penduduk dwidimensional dari Tanahdatar.

Monster dari Dimensi Keempat

Lalu, bagaimana jadinya kalau seorang manusia dari dunia tridimensional bertemu secara tak disangka-sangka dengan suatu monster dari dimensi keempat, dari ruangwaktu pancadimensional? Nelson Bond, seorang penulis rekaan ilmiah asal AS, sudah bergulat dengan pertanyaan ini. Dia mencoba menjawab pertanyaan ini melalui novelnya, The Monster from Nowhere. Yang sangat menarik adalah bahwa Bond diilhami juga oleh novel karya Edwin A. Abbot yang sudah kita bicarakan.

Burch Patterson, pahlawan kita dalam novel ini, adalah seorang petualang, pencinta hidup, dan serdadu bayaran asal AS. Tiba-tiba timbul pikirannya untuk menangkap hewan-hewan liar di pegunungan yang menjulang tinggi di Peru, Amerika Selatan. Untuk mencapai tujuannya, dia merencanakan suatu ekspedisi yang akan dibayar oleh berbagai kebun binatang. Para pengelola kebun-kebun itu akan mengumpulkan uang perjalanan Patterson dan rombongannya sebagai imbalan atas binatang-binatang apa pun yang Patterson temui. Dengan banyak keriuhan pawai, pers meliput ekspedisi itu yang tengah menuju kawasan yang belum dijelajahi. Tapi sesudah beberapa minggu, dunia luar kehilangan kontak dengan ekspedisi itu yang lenyap secara misterius, hilang tanpa bekas apa pun. Sesudah suatu pencarian yang panjang dan sia-sia, para pejabat yang berwewenang dengan rasa enggan menyerah dan menyatakan para penjelajah itu sudah mati.

Dua tahun kemudian, Burch Patterson muncul mendadak. Dia secara rahasia bertemu dengan para reporter media massa dan menceriterakan kepada mereka suatu tragedi dan kepahlawanan yang mencengangkan. Beberapa saat sebelum lenyap, ekspedisi itu bertemu secara tidak terduga dengan seekor hewan fantastik di Dataran Tinggi Maratan di Peru hulu. Itu adalah suatu makhluk ajaib yang tampak bergumpal-gumpal dan yang bentuknya berubah-ubah terus-menerus menurut cara yang paling aneh. Gumpalan-gumpalan hitam itu melayang-layang di tengah udara, muncul dan lenyap dan berubah-ubah bentuk dan ukurannya. Lalu, gumpalan-gumpalan itu tiba-tiba menyerang ekspedisi itu dan membunuh kebanyakan lelaki. Gumpalan-gumpalan itu mengangkat dari tanah beberapa dari lelaki yang tersisa; mereka menjerit-jerit lalu lenyap di udara.

Timbullah keadaan kacaubalau yang memaksa sisa-sisa anggota ekspedisi itu untuk mundur. Dalam gerakan mundur itu, hanya Burchlah yang hidup.

Meskipun mengalami kebingungan dan ketakutan, dia memelajari gumpalan-gumpalan itu dari suatu jarak. Berangsur-angsur dia membentuk suatu teori tentang apa makhluk itu dan bagaimana menangkapnya. Bertahun-tahun sebelumnya, dia membaca Flatland: A Romance of Many Dimensions by a Square oleh Edwin A. Abbot. Burch Patterson membayangkan bahwa siapa pun yang memasukkan jari-jarinya ke dalam dan ke luar Tanahdatar akan mengagetkan penduduk ruang dwidimensional. Penduduk Tanahdatar akan melihat lingkaran-lingkaran daging yang berdenyut-denyut di tengah udara – yaitu, jari-jari manusia yang menyodok melalui Tanahdatar – dan terus-menerus berubah-ubah bentuk dan ukurannya. Ini akan menjelaskan juga mengapa anggota-anggota timnya sudah lenyap di udara: mereka sudah diseret ke dalam suatu dunia berdimensi lebih tinggi.

Tapi suatu pertanyaan masih mengganggu Burch Patterson. Bagaimana Anda menangkap suatu makhluk dari dimensi yang lebih tinggi? Andaikan seorang penghuni Tanahdatar mencoba menangkap jari seorang manusia tridimensional yang menyodok ke dalam Tanahdatar, penduduknya bisa menusuk sebatang jarum menembus jari itu, dan dengan demikian menombakinya secara menyakitkan ke alam semesta dwidimensional. Jadi, strategi Patterson adalah memaku sebatang paku besar menembus salah satu gumpalan itu dan menombaki makhluk itu dalam dunia tridimensional manusia.

Sesudah mengamati mahkuk itu selama berbulan-bulan, Patterson mengenali apa yang tampak seperti “kaki” makhluk itu. Dia lalu memaku sebatang paku besar menembus tepat di “kaki” itu. Dia membutuhkan dua tahun untuk menangkap monster itu dan mengapalkan gumpalan yang meronta-ronta dan menggeliat-geliut kesakitan itu kembali ke New Jersey, AS.

Akhirnya, Patterson mengumumkan suatu konferensi pers utama tempat dia akan menyingkapkan suatu makhluk fantastik yang ditangkap di Peru. Para wartawan dan ilmuwan sama-sama menahan napas karena rasa ngeri ketika makhluk itu disingkapkan dan tampak menggeliat-geliut dan meronta-ronta melawan sebatang baja besar. Mirip suatu adegan dalam film King Kong, seorang wartawan harian yang melanggar aturan-aturan membuat jepretan-jepretan foto tentang monster itu. Kilasan kameranya membuat monster itu berang lalu meronta-ronta demikian keras melawan batangan baja itu sehingga dagingnya mulai terkoyak. Tiba-tiba monster itu lepas dan bebas, dan pecahlah hiruk-pikuk. Orang-orang dikoyak-koyak dan Patterson dan yang lain-lain dicaplok oleh makhluk itu lalu lenyap dalam dimensi keempat.

Sebagai buntut tragedi itu, salah seorang penonton yang luput dari pembantaian besar-besaran itu memutuskan untuk membakar semua bukti tentang makhluk itu. Lebih baik membiarkan misteri itu tetap tidak terpecahkan.

Dimensi-dimensi lebih tinggi mirip yang dialami Patterson dan tim ekpedisi pimpinannya memengaruhi juga pemikiran dalam lingkungan Kristen di Eropa. Kesadaran tentang ruang hiper yang berkembang dari pemikiran Riemann melanda secara khusus kalangan rohaniwan Kristen – selain Edwin A. Abbott – di sini.

Lokasi Sorga, Neraka, dan Malaikat

Selama berabad-abad, mereka mengajukan pertanyaan tentang di mana lokasi sorga dan neraka dan di mana malaikat-malaikat tinggal. Kini mereka menemukan suatu jawaban yang menenteramkan hati dari lokasi-lokasi tadi: dimensi keempat. A.T. Schofield, seorang spiritualis Kristen, menulis bukunya, Another World, pada tahun 1888. Dia berargumentasi panjang-lebar bahwa Allah dan roh-roh tinggal dalam dimensi keempat. Pada tahun 1893, ahli teologia Kristen Arthur Willink menulis The World of the Unseen. Di dalamnya, Willink mengkleim bahwa tidak layak bagi Allah untuk tinggal dalam dimensi keempat yang rendah itu. Willink mengkleim bahwa satu-satunya tempat yang cukup megah bagi Allah adalah ruang dimensional tanpa batas.

Pemerian tadi menunjukkan bahwa Tuhan, malaikat, roh-roh, dan makhluk-makhluk lain dari dimensi lebih tinggi punya kuasa luar biasa. Kuasa itu tidak dimiliki makhluk-makhluk dari dimensi-dimensi lebih rendah, seperti manusia tridimensional dan penduduk dwidimensional Tanahdatar.

Tidak mengherankan, spekulasi-spekulasi tentang dimensi-dimensi lebih tinggi memukau berbagai peminat untuk jangka waktu yang lama. Spekulasi-spekulasi ini ikut memercikkan minat artistik dan literer luar biasa selama 100 tahun.

Implikasi-Implikasi

Apa implikasi dari hubungan antara penduduk Tanahdatar dwimensional dan makhluk manusia tridimensional dan hubungan manusia tridimensional dengan makhluk caturdimensional? Pertama, logika sehari-hari dari penduduk Tanahdatar dan manusia tridimensional berlaku benar sejauh kedua macam penduduk ini hidup tanpa campur tangan dari kuasa di luar dimensi yang mereka alami. Kedua, logika itu menjadi kacau atau sulit dipahami penduduk setiap jenis dimensi tadi ketika ada campur tangan dari makhluk-mahkluk dari dimensi lebih tinggi atau ketika ada perjumpaan antara mereka dari dimensi yang berbeda. Ketiga, setiap makhluk dari dimensi yang lebih tinggi akan tampak punya kuasa ilahi, kuasa misterius yang membingungkan, menakutkan, menimbulkan rasa takut dan gentar bagi makhluk-makhluk dari dimensi lebih rendah.

Kalau nanti dimensi-dimensi lebih tinggi terbukti benar, apa maknanya atau kaitannya dengan perjumpaan antara manusia dan makhluk-makhluk sorgawi – seperti malaikat – atau dimensi-dimensi sorgawi – seperti penampakan punggung tangan dan jari-jari yang menulis di dinding kapur istana Babilonia – dalam Alkitab? Dari ketiga penjelasan tadi, kita makin mengerti mengapa perjumpaan manusia dengan makhluk-mahkluk sorgawi dalam Alkitab – seperti malaikat-malaikat – dan demonstrasi dimensi sorgawi – seperti pada manusia tridimensional di istana Babilonia – membingungkan, menakutkan, menimbulkan rasa takut dan gentar pada manusia tridimensional. Seperti pengalaman penduduk Tanahdatar ketika mengalami perjumpaan dengan makhluk manusia, logika sehari-hari manusia menjadi kacau karena tidak mampu memahami secara utuh realitas dimensi lebih tinggi dan makhluk-makhluk sorgawi dari dimensi lebih tinggi tampak punya kuasa adi alami (supernatural) di mata manusia tridimensional.

Barangkali, karena dampak perjumpaan yang dahsyat seperti itu, Yesus yang bangkit dari kematian-Nya menenangkan murid-murid-Nya lebih dahulu sebelum berbicara dengan mereka. Ketika Dia muncul tiba-tiba di antara mereka di kamarnya, salam-Nya, “Damai sejahtera bagimu” bukan saja suatu formalitas melainkan juga suatu sarana untuk menenangkan hati mereka. Meskipun demikian, murid-murid kaget dan ketakutan karena mengira tengah melihat hantu. Mereka baru tenang sesudah Yesus meyakinkan mereka bahwa Dia bukan hantu karena hantu tidak punya daging dan tulang sementara Dia punya kedua-duanya. Penampakan Yesus secara mendadak dalam hakekat yang baru dan diduga berasal dari dimensi yang lebih tinggi dari yang dialami para murid-Nya menunjukkan kuasa ilahi atau adialami yang menakutkan mereka dan mesti ditenangkan oleh Yesus.

Selain Yesus, malaikat-malaikat tertentu dalam Alkitab yang menampakkan diri dalam kuasanya yang hebat pada manusia menenangkannya lebih dahulu sebelum mereka menyampaikan pesan ilahinya. Zacharias, misalnya, kaget dan dicekam rasa takut ketika seorang malaikat Tuhan muncul padanya di Bait Allah. “Jangan takut,” kata utusan ilahi itu demi menenangkannya. Zacharias, seorang makhluk manusia yang hidup dalam suatu dunia tridimensional ditambah waktu, mengalami kondisi jiwa tadi karena perjumpaannya dengan malaikat dengan kuasa yang hebat dari suatu dimensi yang lebih tinggi.

Implikasi ke iman Kristen tadi punya makna lain. Ini membuat kita menjadi rendah hati dengan kuasa rasio, penalaran, atau logika kita.

Siapa pun di antara kita sebagai makhluk tridimensional yang mengkleim bahwa dia mampu menjelaskan segala mujizat dalam Alkitab – seperti kuasa Yesus untuk berjalan di atas permukaan air danau, untuk menyembuhkan orang sakit, untuk membangkitkan orang mati, dan bahkan untuk bangkit Sendiri dari maut – tidak memahami apa yang dikatakannya. Sebagai makhluk tridimensional dengan logika sehari-hari yang berdasarkan dunia tridimensional ditambah waktu, dia mengabaikan realitas multidimensional, realitas ruang hiper, atau realitas sorgawi yang bisa disebut realitas multidimensional super, realitas ruang hiper super, yang di dalamnya Yesus mewahyukan diriNya dan menunjukkan kuasa ilahi-Nya dan yang di dalamnya mujizat-mujizat alkitabiah terjadi. Dimensi-dimensi yang berada di luar dimensi tridimensional kita punya “logika” unik, logika ruang hiper atau ruang hiper super, yang membingungkan atau mengacaukan logika realitas tridimensional kita. Pendek kata, selama kita adalah mahkluk tridimensional, kita tidak (akan) mungkin menjelaskan seluruh hakekat Allah.

Bahkan kecenderungan otak tridimensional kita untuk mencoba menjelaskan hal-hal asing atau baru dari dimensi yang lebih tinggi melalui analogi – seperti metafora atau simile – berdasarkan pengalaman kita di dunia tridimensional sekalipun tidak akan mampu menangkap secara tepat-sasaran realitas sesungguhnya dari dimensi-dimensi lebih tinggi. Misalnya, metafora Daud tentang Allah – “Dialah gunung batuku, ... kota bentengku” – dan similenya tentang Dia – “TUHAN ... seperti gunung Sion yang tidak goyang, yang tetap untuk selama-lamanya” – adalah analogi, perbandingan yang taklengkap, yang, meskipum menimbulkan afeksi religius yang sangat dalam di hati orang percaya, jelas sekali tidak memerikan dengan ketepatan seratus persen kemahakuasaan Allah. Selama kita hidup di dunia tridimensional kita, kuasa ilahi yang mesti berasal dari ruang hiper atau boleh jadi di atasnya akan tampak samar-samar – kecuali kalau kita nanti hidup sebagai manusia baru – manusia multidimensional – di dalamnya. Maka, kata-kata Rasul Paulus bagi kita, manusia tridimensional yang rindu berada bersama Yesus dalam realitas multidimensional atau dalam realitas ruang hiper super, menjadi relevan: “. . . sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.”

Kalaupun teori tentang dimensi-dimensi ruang hiper tadi belum bisa dibuktikan atau keliru atau perlu revisi, kesulitan-kesulitan ini tidak akan membatalkan kebenaran alkitabiah, seperti kata-kata Paulus tadi. Kebenaran Allah kekal, tidak saja sama kemarin, hari ini, dan besok tapi juga sama di dalam dan di luar ruangwaktu – sama selama-lamanya.

0 komentar: