CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

07 April 2009

19. Allah dalam Realitas Non-lokal?

Apa itu “realitas non-lokal”? Itulah realitas yang di dalamnya kemampuan mirip hantu dari benda-benda yang terikat pada teori kuantum untuk tetap “mengetahui” diri masing-masing meskipun setiap benda ini terpisah oleh jarak yang sangat jauh.

Apakah implikasi konsep non-lokalitas ini terhadap kebenaran alkitabiah? Konsep ini, suatu hasil penelitian dari Mekanika Kuantum, bisa menjelaskan berbagai mujizat dan hakekat Tuhan dalam Alkitab.

Mekanika Kuantum

Mekanika Kuantum adalah disiplin ilmiah yang menjelaskan interaksi antara berbagai forsa dan energi yang ada dalam sebuah atom. Keempat forsa fundamental alam ini mencakup gravitasi, elektromagnetisme, nuklir kuat, dan nuklir lemah. Kecuali gravitasi, ketiga forsa fundamental lain ada dalam atom. Secara sederhana, sains tentang Mekanika Kuantum adalah teori yang menjelaskan kekuatan-kekuatan (forsa-forsa) di dalam atom-atom.

Ada kerugian dan keuntungan Mekanika Kuantum dalam memerikan gejala-gejala fisikal dalam ukuran sangat kecil. Di satu pihak, sains ini berlaku hanya bagi sejumlah besar kejadian dalam zarah-zarah subatomik. Dengan kata lain, Mekanika Kuantum tidak bisa meramalkan suatu kejadian tunggal dari sebuah zarah subatomik individual. Di pihak lain, sains ini paling cermat dalam memberi penjelasan tentang mengapa matahari bersinar; mengapa molekul-molekul saling mengikatkan dirinya sendiri; mengapa ada ketiga kondisi materi – gas, cairan, dan benda padat – dan mengapa sebatang besi terpengaruh magnet ketika ia diketahui berada dekat magnet itu.

Bagi kita yang memanfaatkan Mekanika Kuantum, ada keuntungan dan kerugian lain. Secara praktis, sains ini memberi kita kenyamanan modern kita seperti cip komputer, mikro-gelombang, laser, dan televisi. Akan tetapi, Mekanika Kuantum juga memberi kita teknologi untuk mengembangkan senjata-senjata teror dan menghancurkan kehidupan, seperti bom atom dan bom hidrogen.

Realitas Non-lokal dan Lokal

Dan ada realitas non-lokal dari Mekanika Kuantum. Untuk memahami realitas ini, disebut juga non-lokalitas, lebih baik, kita perlu menyoroti secara ringkas tapi dari sudut lain keempat forsa fundamental dalam alam semesta. Keempat forsa ini boleh dikatakan mengikat segala sesuatu pada dirinya masing-masing karena mempengaruhi segala sesuatu. Suatu contoh. Elektromagnetisme mengikat elektron-elektron pada atom-atom dalam tubuh kita, benda-benda di sekitar kita, Bumi, planet-planet, dan Bulan. Contoh lain: gravitasi menahan kita dan benda-benda lain di Bumi agar tetap ada di tanah.

Cara forsa-forsa fundamental ini mengikat segala sesuatu bisa bersifat non-lokal. Sifat non-lokal ikatan ini membutuhkan suatu jenis forsa yang disebut forsa mekanik. Forsa mekanik tampak, misalnya, pada pengaruh gravitasi Matahari pada Bumi. Matahari menarik Bumi melalui gravitasinya, tapi tidak sekalipun Bumi ada kontak langsung dengan Matahari. Para fisikawan menyebut forsa mekanik seperti ini sebagai bersifat non-lokal karena forsa gravitasi Matahari tampaknya memengaruhi Bumi yang tidak ada pada lokasi yang sama dengan Mathari tapi yang saling berjauhan.

Selain bersifat non-lokal, forsa-forsa fundamental tadi yang mengikat segala sesuatu bisa juga bersifat lokal. Sifat ini ada dalam zarah-zarah keunsuran. Partikel-partikel fundamental yang menghendaki agar forsa-forsa bersifat lokal mengakibatkan benda-benda yang saling memengaruhi harus punya kontak antara mereka. Para ilmuwan mencapai lokalitas (istilah lain untuk realitas lokal) ini dengan memperkenalkan gagasan tentang zarah-zarah keunsuran yang membawa forsa-forsa fundamental dari satu benda ke benda lain. Eksperimen-eksperimen sudah mengukuhkan adanya banyak partikel pembawa forsa seperti ini. Misalnya, dalam elektromagmentisme, suatu zarah bernama foton bergerak antara dua elektron yang saling menolak. Satu elektron melepaskan foton itu dan terpental sementara elektron yang lainnya menyerap foton itu dan didorong menjauh. Zarah-zarah pembawa forsa-forsa seperti ini disebut bersifat lokal karena ada kontak antara benda-benda yang diikat oleh forsa-forsa ini.

Pasangan yang Saling Membelit

Sifat mengikat dari forsa-forsa fundamental dalam alam semesta secara khusus diteliti lebih jauh dalam gagasan tentang entanglement, suatu istilah bahasa Inggris yang secara longgar bisa diterjemahkan sebagai pembelitan. Gagasan ilmu fisika ini diketahui melalui dua eksperimen: suatu ekperimen imajiner - disebut juga eksperimen hipotetis atau eksperimen pikiran - pada tahun 1930-an dan suatu eksperimen benar pada tahun 1997.

Pada tahun 1930, para fisikawan mengusulkan suatu eksperimen imajiner untuk menunjukkan bahwa pengukuran mengakibatkan komplikasi dalam mekanika kuantum. Mereka membayangkan suatu sistem yang berisi dua partikel atau zarah dengan nilai berlawanan dari spin, suatu sifat partikel yang mirip momentum sudut. Fisikawan bisa mengetahui bahwa kedua zarah mempunyai spin yang berlawanan dengan menetapkan spin total sistem itu pada angka nol. Mereka bisa mengukur spin total tanpa mengukur secara langsung spin setiap partikel. Sebelum spin setiap partikel mereka ukur, spin kedua-duanya sebenarnya tidak memiliki nilai yang tetap. Nilai itu ada hanya sebagai probabilitas yang kabur. Tapi spin kedua zarah itu mempunyai nilai yang tetap ketika para fisikawan mengukurnya.

Dalam eksperimen hipotetis tadi, mereka tidak mengukur langsung spin setiap partikel. Mereka mengirimkan dua partikel, disebut pasangan yang saling membelit, mengikuti arah yang berlawanan sampai masing-masing berada pada jarak yang sangat jauh. Lalu, mereka mengukur spin salah satu zarah itu sambil menetapkan nilainya. Serta-merta, spin partikel yang lain mereka tahu juga dan nilainya mereka tetapkan. Nilai itu tidak lagi adalah suatu probabilitas yang kabur tapi haruslah menjadi lawan partikel yang lain, supaya spin kedua-duanya akan menghasilkan angka nol. Perilaku kedua zarah ini memberi kesan seakan-akan partikel pertama berkomunikasi dengan partikel kedua. Kesan ini mengagetkan para ilmuwan. Penyampaian informasi dari satu partikel kepada partikel lain secara serempak macam ini bisa berarti informasi dari satu partikel ke partikel lain merambat lebih cepat dari kecepatan cahaya! Kesan ini berarti terjadi suatu pelanggaran terhadap aturan bahwa tidak ada apa pun dalam alam semesta yang bisa lebih cepat dari cahaya. Apapun juga, para ilmuwan bisa mengetahui secara serempak juga spin zarah kedua karena mereka sudah menetapkan spin total sistem itu pada angka nol di awal eksperimennya.

Pada tahun 1997, para periset melakukan suatu eksperimen serupa dengan eksperimen pikiran tahun 1930-an. Mereka mengukuhkan efek pengukuran dasawarsa ini pada suatu sistem kuantum.

quantum-entanglement "Pembelitan" Kuantum

Karena saling "membelit", satu zarah (partikel) pada jarak apa pun diduga mengirim informasi yang melebihi kecepatan cahaya pada pasangannya agar memberi "reaksi" yang sama!

Implikasi pada Ajaran Kristen

Adanya non-lokalitas dan lokalitas dalam dunia kuantum jelas sudah diketahui dan dibuktikan secara ilmiah. Apa impikasi realitas non-lokal dan lokal pada iman orang percaya, seperti iman orang Kristen?

Realitas non-lokal ini bisa disebut realitas yang tak tampak. Realitas ini akan dibandingkan dengan realitas Roh. Menurut Alkitab, Roh tidak bisa dibagi, mahahadir, dan adalah semua di dalam semua.

Ajektiva non-lokal menyiratkan kata lokal. Memang ada dua jenis realitas yang disiratkan oleh teori tentang Mekanika Kuantum. Jenis pertama yang kita tahu dan alami setiap hari adalah realitas lokal kita. Jenis kedua yang tidak kita alami tapi ada menurut Mekanika Kuantum adalah realitas non-lokal.

Bagaimanakah realitas lokal diperikan? Realitas ini berisi peristiwa-peristiwa lokal di dalam ruang dan waktu. Selain itu, ia ada dan bekerja sama dalam suatu kerangka kerja kronologis. Ini berarti teori ruang hiper tentang ruang tridimensional ditambah waktu yang membentuk dimensi keempat adalah juga realitas lokal. Realitas lokal terjadi pada tingkat fisikal. Realitas lokal bisa dibuktikan melalui eksperimen ilmiah, misalnya, melalui laboratorium.

Lalu, bagaimanakah kita membayangkan realitas non-lokal? Realitas ini mencakup pikiran, perasaan, dan gagasan-gagasan kita. Ia juga mencakup cintakasih, wawasan, intuisi, sinkronisitas (terjadinya lebih daripada satu peristiwa secara serempak pada seseorang), dan kesembuhan secara spontan (tanpa jamahan tangan seorang dokter, misalnya). Selain itu, perintah-perintah yang tidak tampak dari DNA yang mengarahkan sel-sel kita membuktikan realitas non-lokal itu. Banyak dari hal-hal ini terjadi pada tingkat psikologis dan spiritual. Berbeda dengan realitas lokal, realitas non-lokal tidak bisa diukur oleh instrumen apa pun, tidak bisa dibuktikan, misalnya, melalui eksperimen laboratorium.

Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan realitas lokal? Dalam realitas lokal, benda A memengaruhi benda B secara lokal atau menyentuh benda C yang menyentuh B. Tidak hanya sains yang berasumsi bahwa realitas ini ada. Pengalaman sehari-hari kita pun cenderung mendukung realitas lokal, disebut juga lokalitas. Lokalitas menyiratkan kausalitas, hubungan sebab yang rasional atau jelas dan akibat yang jelas melalui perantara.

Suatu ilustrasi bisa memperjelas definisi tadi. Banjir bandang (A) menghanyutkan isi rumah-rumah penduduk dekat sebuah sungai (B) di Jakarta. Atau banjir bandang itu (A) bermula dari bendungan air yang bobol karena curah hujan yang tinggi di hulu sungai (C) dan sebagai akibatnya menghanyutkan isi rumah-rumah penduduk dekat sungai itu (B) di Jakarta. Dalam realitas lokal, sebab menimbulkan akibat melalui perantara, entah secara langsung (A memengaruhi B) atau tidak langsung (A memengaruhi B melalui C) dalam ruang dan waktu lokal.

Lalu, apa definisi tentang realitas non-lokal, disebut juga non-lokalitas? Realitas non-lokal adalah suatu aksi tanpa perantara pada suatu jarak. Dengan kata lain, suatu interaksi melompat dari benda A ke benda B tanpa menyentuh apa pun di antara A dan B. Dalam non-lokalitas, kausalitas dilanggar karena yang tampak hanyalah akibat tapi sebabnya tidak tampak.

Dr. Warren tentang Realitas Non-lokal

Mekanika Kuantum mulai menarik perhatian para ahli teologia Kristen. Sains ini tampaknya memberi mereka suatu landasan ilmiah untuk menjelaskan adanya Allah. Sains ini sudah menemukan suatu bidang yang bukan fisikal, yang bukan ruang dan waktu. Bidang yang sudah ditemukan itu yang memberi suatu landasan ilmiah bagi para ahli teologia itu disebut realitas non-lokal.

Salah seorang cendekiawan Kristen yang menjelaskan kaitan non-lokalitas dengan mujizat-mijzat alkitabiah adalah Dr. Lee E. Warren, B.A., D.D. Dalam “PLIM REPORT” terbitan September/Oktober 1996, dia menyebut realitas non-lokal dalam artikelnya, “Has Science Found God in Non-local Reality?”

Menurut Dr Warren, adanya Allah bisa dipahami melalui konsep tentang realitas non-lokal. Konsep ini secara tidak langsung mendukung gagasan ilmu fisika modern tentang realitas yang beranekaragam (multiple realities) dan menyiratkan ruang hiper. Secara khusus, ia dikaji melalui Mekanika Kuantum.

Banyak orang membantah realitas non-lokal ini karena tampak tidak masuk di akal. Tapi penemuan Mekanika Kuantum tentang non-lokalitas mengukuhkan jenis realitas ini dalam Alkitab. Ada banyak contoh tentang realitas non-lokal dalam Alkitab.

Ambil, misalnya, kisah tentang kuasa penyembuhan oleh Yesus dalam Matius 8:8-11. Di dalam rumah milik seorang perwira militer non-Yahudi yang tidak diketahui Yesus terbaring seorang hamba yang lumpuh dan sangat menderita. Sang perwira yang berbelas kasihan pada hambanya tidak tahu bagaimana ia bisa menolongnya supaya sembuh. Suatu hari Yesus tengah masuk ke Kapernaum, suatu kota kecil. Ketika itulah perwira militer non-Yahudi itu datang menemui-Nya dan memohon kepada-Nya supaya Ia datang menyembuhkan hambanya. Yesus terheran-heran dengan kekuatan iman perwira itu dan berkata kepadanya: “Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya.” Pada saat itu juga sembuhlah hamba perwira militer itu.

Murid-murid Yesus terheran-heran sekali karena mereka tidak bisa mengamati secara fisikal sumber mujizat itu. Yesus berkata pada mereka bahwa Bapa-Nya di dalam Dialah yang bekerja dan bahwa Ia satu dengan Bapa-Nya (Yoh.14:8-12).

jesus centurion

Seorang Perwira Militer Roma Kuno. Lukisan ini menunjukkan iman seorang perwira militer non-Yahudi zaman Yesus yang mengakibatkan hambanya sembuh tanpa jamahan tangan Yesus, suatu contoh rohani dari non-lokalitas.

Kisah tadi menunjukkan kebenaran dari definisi non-lokalitas tadi. Realitas non-lokal adalah suatu aksi tanpa perantara pada suatu jarak. Ketika Yesus mengabulkan permohonan perwira militer itu, timbullah interaksi yang melompat dari Yesus (A) – melalui kata-kata-Nya – kepada hamba itu (B) – yang mengalami kesembuhan – tanpa jamahan tangan apa pun dari Yesus (A) pada hamba itu (B). Dalam realitas non-lokal, akibat yang tampak tanpa melalui perantara ditimbulkan oleh sebab yang tak tampak.

jesus healing sick

Yesus Menyembuhkan Seorang Lelaki yang Buta Matanya

Suatu lukisan lain menunjukkan kuasa penyembuhan Yesus yang disalurkan tanpa menjamah orang buta itu, suatu contoh lain dari realitas non-lokal.

Apakah ada kaitan antara non-lokalitas dengan ruang hiper? Ada. Seperti yang sudah dijelaskan, dimensi keempat – yaitu, ruang dan waktu yang manusia alami sehari-hari – menyiratkan realitas lokal. Ini berarti dimensi-dimensi yang lebih “tinggi” daripada dimensi keempat adalah dimensi-dimensi yang tidak dialami sehari-hari oleh manusia. Kalau ada makhluk-makhluk yang menghuni dimensi-dimensi ekstra ini, maka makhluk-mahkluk itu mesti punya kuasa adi alami. Dengan demikian, mereka mesti berasal dari realitas non-lokal.

Realitas non-lokal didukung Dalil Bell

Dalil Bell mendukung penemuan Mekanika Kuantum bahwa realitas non-lokal ada. Perumusnya adalah seorang ahli ilmu fisika teoritis asal Irlandia (Inggris) bernama John Stewart Bell. Pada tahun 1964, Bell mengembangkan suatu bukti matematik tentang non-lokalitas. Menurutnya, model apa pun tidak lengkap kalau model itu menyatakan bahwa alam semesta bersifat lokal saja. Realitas fisikal macam ini baru lengkap kalau ia mencakup model lain: realitas non-lokal. Selain itu, John Stewart Bell menyatakan bahwa ada suatu kesalingterkaitan (interconnectedness) dari segala sesuatu di alam semesta. Pernyataannya kemudian dikukuhkan melalui bukti-bukti ilmiah. Bukti-bukti ini membentuk suatu dalil yang disebut Dalil Bell. Dalilnya kemudian diverifikasi oleh banyak eksperimen ilmiah. Secara sederhana, Dalil Bell membuktikan bahwa ada realitas non-lokal di samping realitas lokal.

Dalam Alkitab, realitas non-lokal ini bisa disebut Roh. Roh berada di luar realitas lokal kita. Realitas non-lokal berinteraksi dengan realitas lokal kita. Ia sumber dan penyebab keberadaan fisikal dan realitas. Bagian nonfisikal dari alam semesta adalah bukti yang tengah dicari semua sains. Dalil Bell membuktikan bahwa ada dunia lain yang sudah diperbincangkan teologia, tapi yang tidak mampu dibuktikan secara teoritis atau empiris oleh teologia. Kini Dalil Bell tentang non-lokalitas ikut memperkuat landasan ilmiah bagi ahli-ahli teologia untuk menjelaskan Roh. Singkat kata, penjelasan John Stewart Bell tentang realitas non-lokal.menunjukkan bahwa segala sesuatu dalam alam semesta adalah satu keseluruhan yang saling terkait.

Jadi, teori kuantum menjelaskan forsa-forsa dalam atom dan pandangan holistik tentang alam semesta. Pandangan holistik ini menunjukkan bahwa sesuatu yang nonfisikal dan nonlokal menghubungkan alam semesta pada semua tingkat. Sebagai akibatnya, ada kesalingterkaitan antara segala sesuatu – dari zarah-zarah subatomik sampai dengan galaksi-galaksi yang paling jauh.

Implikasi pada keberadaan Roh

Pengetahuan ilmiah ini punya implikasi pada keberadaan Roh. Sains ini mengukuhkan ciri dan hakekat Roh. Alam semesta adalah suatu cerminan atau bayangan dari sumber asli nomaterial, yaitu kekuatan yang kekal dari Allah dan keilahianNya. “. . . apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Roma 1:20). Kata “mereka” yang dipakai dalam ayat ini mengacu pada manusia yang kelalimannya menindas kebenaran (ayat 18). Alam semesta fisikal ini membuktikan bahwa Tuhan Allah Esa, seperti yang dinyatakan Musa: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ulangan 6:4). Kita menyimpulkan dari ayat ini bahwa alam semesta haruslah suatu kesatuan atau keutuhan karena sang Pencipta itu esa.

Kesalingterkaitan dan keutuhan sang Pencipta dan ciptaan-Nya bisa dipahami lebih jauh melalui doa Yesus di Getsemani. Dalam doa itu, Dia memohon kepada Bapanya agar umat pilihan-Nya menjadi satu sebagaimana Bapa satu di dalam Dirinya (Yoh 17:21-23). Dalil Bell menegaskan sampai batas tertentu keotentikan ilahi dalam Alkitab. Meskipun demikian, suatu pemahaman yang lebih lengkap tentang dalil ini tengah tersingkap. Pendek kata, kejadian-kejadian dalam Alkitab mengenai Allah bersifat non-lokal dan tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Gagasan utama yang disoroti Paulus dalam Efesus 4:1-16 adalah kesatuan jemaat dan karunia yang berbeda-beda. Anggota-anggota jemaat “telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus” (ayat 8). Paulus berharap bahwa kasih karunia yang berbeda-beda itu oleh tuntunan Roh dipergunakan “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus . . .” (ayat 12-13). Ayat-ayat ini menyiratkan bahwa kuasa Roh begitu besar sehingga tidak ada siapa pun yang mampu melaksanakan seorang diri semua segi Roh itu. Semua pencari kebenaran ilahi membentuk suatu tubuh atau jemaat atau persekutuan dan melalui sistem-sistem ini kuasa Roh dinyatakan. (Bandingkan dengan Iberani 12:22-23.)

Non-lokalitas dan Keanehan Atom Individual

Konsep non-lokalitas tadi punya hubungan juga dengan perilaku yang aneh dari zarah-zarah subatomik. Perilaku aneh macam apa? Dalam eksperimen-eksperimen ilmu fisika untuk menguji teori kuantum, satu atom individual diketahui bisa berada pada dua tempat secara serempak!

Eksperimen yang terkenal untuk membuktikan keanehan zarah-zarah subatomik atau atomik ini disebut eksperimen “celah ganda". Dua celah yang saling berdekatan secara vertikal dipotong pada sebuah layar. Kemudian zarah-zarah subatomik seperti foton cahaya atau elektron atau atom yang utuh ditembak seperti peluru pada layar itu. Eksperimen dilakukan berulang-ulang. Di sisi yang jauh dari layar itu, zarah-zarah yang sudah ditembak itu saling berinterferens, yaitu saling bercampur, untuk menghasilkan suatu pola interferens yang khas pada layar kedua. Keanehan lalu terjadi. Pola intereferens terbentuk sekalipun zarah-zarah itu ditembak pada celah-celah itu satu demi satu, dengan saat jeda yang panjang di antara setiap tembakan. Dengan kata lain, ketika tidak ada kemungkinan bagi zarah-zarah yang ditembak itu untuk saling bercampur, pola-pola interferens atau percampuran tetap saja terjadi.

"Interpretasi Banyak Dunia"

Bagaimanakah sampai satu atom bisa ada pada dua tempat sekaligus? Pertanyaan ini coba dijawab oleh seorang mahasiswa tingkat doktoral dari Universitas Princeton, AS, dalam disertasinya untuk mendapat gelar doktor dalam ilmu fisika pada tahun 1957. Namanya Hugh Everett III. Everett mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “interpretasi Banyak Dunia". Menurut interpretasi ini, teori kuantum memerikan segala-segalanya, jadi tidak hanya dunia mikroskopik dari atom-atom dan susunannya. Teori kuantum memperbolehkan sebuah atom berada pada dua tempat sekaligus. Ini berarti bahwa benda-benda besar seperti sebuah meja – dari sudut ilmu fisika kuantum, tersusun dari miliaran atom – bisa juga berada pada dua tempat sekaligus. Akan tetapi, menurut interpretasi Banyak Dunia, akal budi orang yang mengamati meja itu terbelah menjadi dua – satu bagian akal budinya mempersepsi meja itu pada satu tempat dan bagian lain dari akal budinya mempersepsi meja itu pada tempat lain.

Dekoherens

Masih ada masalah lain yang mengganjal. Kalau atom-atom bisa ada pada dua tempat atau lebih sekaligus, mengapa akal budi seseorang tidak bisa berada pada dua keadaan sekaligus, dengan mempersepsi meja itu pada dua tempat sekaligus?

Pertanyaan ini dijawab oleh gejala ilmu fisika yang disebut dekoherens. Kata ini menyiratkan lawan katanya, koherens. Menurut pengertiannya sehari-hari, koherens adalah pertalian, perhubungan; keadaan saling berlengketan. Dengan demikian, dekoherens berarti keadaan tanpa pertalian, tanpa perhubungan; keadaan tanpa saling berlengketan.

Dalam ilmu fisika tentang Mekanika Kuantum, dekoherens punya arti khusus yang mengembangkan arti umumnya tadi. Dekoherens adalah mekanisme yang menghancurkan sifat aneh dari suatu benda. Sebagai akibatnya, benda itu, misalnya, tampak lebih terlokalisasi dan kurang muncul secara serempak pada banyak tempat yang berbeda-beda.

Dekoherens terjadi kalau dunia luar berhasil “mengetahui” benda itu. Pengetahuan ini bisa saja diambil oleh sebuah foton tunggal dari cahaya atau sebuah molekul udara yang mementalkan benda itu. Benda-benda besar seperti meja terus-menerus diterpa foton-foton dan molekul-molekul udara. Sebagai akibat hantaman bertubi-tubi ini, benda-benda besar itu tidak bisa tetap terisolasi dari lingkungannya untuk jangka waktu yang lama. (Atom dalam eksperimen kuantum tadi bisa berada pada dua tempat sekaligus karena ia terisolasi dari pengaruh lingkungannya, yaitu hantaman bertubi-tubi dari foton-foton dan molekul-molekul udara.) Karena terpengaruh oleh lingkungannya, benda-benda besar itu kehilangan kemampuannya untuk berada pada banyak tempat secara serempak dalam suatu jangka waktu yang sangat singkat – terlalu singkat bagi kita untuk mengamatinya.

Jadi, dekoherens menunjukkan bahwa benda-benda besar, seperti meja dan tubuh jasmani manusia, terlokalisasi oleh pengaruh lingkungannya untuk jangka waktu yang lama. Dengan kata lain, dekoherens menegaskan realitas lokal dari benda-benda fisikal yang besar.

Paradoks EPR

Paradoks EPR mengacu juga pada keanehan perilaku atom yang diamati juga oleh Albert Einstein, Boris Podolsky, dan Nathan Rosen. Inisial nama marga setiap ilmuwan berdarah Yahudi ini lalu menjadi bagian dari istilah “paradoks EPR". Mereka bertiga tergolong pada aliran pemikiran Einstein dalam Mekanika Kuantum. Aliran ini punya penafsiran yang bertentangan dengan aliran pemikiran Niels Bohr dalam Mekanika Kuantum.

Untuk membuktikan bahwa aliran Bohr tidak benar, Einstein, Podolsky, dan Rosen mengadakan eksperimen-eksperimen. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa aliran pemikiran Niels Bohr keliru. Aliran pemikiran Bohr mengatakan bahwa pengukuran apa pun atas partikel A akan memengaruhi partikel B atau sebaliknya.

Eksperimen-eksperimen mereka bertiga berdasarkan dua zarah yang sama, disebut juga zarah kembar. Zarah-zarah ini sangat kecil dan disebut A dan B. Zarah-zarah kembar ini membentuk suatu sistem perjalanan yang saling berlawanan arah. Apa yang mereka bertiga temukan melalui eksperimen-eksperimennya tidak mencapai tujuannya. Mereka mengamati bahwa setiap zarah apa pun yang tidak diukur bereaksi terhadap perubahan yang dialami zarah lain. Kalau zarah A yang diukur mulai spin ke arah yang berlawanan dengan zarah B, maka zarah B mulai juga spin ke arah zarah A.

Hasil-hasil eksperimen EPR ternyata gagal menyanggah kebenaran teori aliran Niels Bohr. Mereka bertiga terheran-heran menemukan bahwa pemikiran aliran Bohr benar.

Bagaimanakah keanehan ini bisa terjadi? Bukankah tidak ada forsa atau energi yang ditransfer antara zarah A dan B?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bersifat spekulatif. Tampaknya ada bentuk informasi yang ditransfer dari satu zarah ke zarah lain. Tapi bentuk informasi macam apa? Einstein tidak tahu bagaimana menjelaskan keanehan tadi. Ada yang menjawab keanehan perilaku zarah-zarah atomik kembar tadi adalah “tindakan mirip hantu". Tapi Einstein menolak anggapan ini; dia menginginkan pengukuran yang obyektif dan fakta.

Untuk memperjelas gejala pengaruh timbal-balik yang aneh antara partikel A dan B, bayangkanlah sebuah bola lampu. Bola lampu ini memancarkan dua zarah cahaya yang bergerak ke arah berlawanan dan saling menjauh. Akhirnya, setiap zarah itu berada pada dua ujung yang berbeda dari alam semesta. Tapi kalau zarah A mengubah segi-segi tertentu dari momentum, kecepatan, atau arahnya, maka zarah B yang sangat jauh dari kembarnya itu akan berubah secara serempak untuk mengimbangi gerak, kecepatan, atau arah partikel A!

Komunikasi non-lokal dan fisikal antara partikel A dan B

Bagaimana keanehan ini bisa dijelaskan? Masuklah Dalil Bell. Dalil ini membuktikan bahwa ada komunikasi langsung antara kedua zarah tadi! Ini berarti suatu pesan harus tersiar lebih cepat daripada kecepatan cahaya; jadi, lebih cepat daripada 300.000 kilometer per detik! Tidak mungkin. Bukankah teori relativitas khusus Einstein menyatakan bahwa cahaya adalah zarah paling cepat dalam alam semesta? Tidak dalam kasus kembaran zarah subatomik tadi. Dengan demikian, John Stewart Bell menunjukkan bahwa ada komunikasi non-lokal dan fisikal antara kedua zarah tadi. Sejauh ini, sains belum mampu menjelaskan secara tuntas keanehan perilaku zarah-zarah kembar ini.

Sifat Non-lokal dan Non-fisikal Allah

Ilmu fisika modern tidak akan menyamakan non-lokalitas dengan dunia rohani. Maklum, ilmu fisika membicarakan hal-hal fisikal. Dunia rohani bersifat non-fisikal, non-material.

Meskipun demikian, sifat-sifat non-lokal yang fisikal cenderung meniru sifat-sifat yang sering dihubungkan dengan Roh atau Allah. Kesalahan sains, atau bisa juga dikatakan kesalahan manusia, adalah upayanya unytuk mendefinisikan Roh atau Allah menurut citra fisikal.

Alkitab menyaksikan bahwa Roh atau Allah punya sifat-sifat non-lokal dan nonfisikal. Yesus menegaskan sifat-sifat ini ketika Dia berkata: “Allah itu Roh . . .” (Yoh 4:24). Penegasan Yesus menunjukkan bahwa Roh atau Allah tidak bisa dijelaskan atau didefinisikan melalui ruang dan waktu dan materi – kecuali melalui analogi-analogi.

Dalam Alkitab, kita membaca tentang Allah sebagai kota benteng, gunung batu, gembala bagi orang beriman sementara Roh Kudus muncul dalam rupa burung merpati dan lidah-lidah api. Citra-citra fisikal ini adalah beberapa contoh dari analogi-analogi tentang Allah dan Roh.

Jelaslah bahwa Roh atau Allah tidak terikat pada realitas yang fisikal. Ia Mahahadir, Mahaada.

Dalam kesempatan lain, Yesus menyiratkan bahwa alam semesta fisikal adalah suatu cerminan atau bayangan dari realitas non-lokal dan nonfisikal. Dalam Yohanes 3:12, Dia berkata: “Kamu tidak percaya, waktu Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal duniawi, bagaimana kamu akan percaya kalau Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal sorgawi?”

Tiga Sifat Realitas Non-lokal

Ada tiga sifat realitas non-lokal. Sifat-sifat ini memperjelas hakekat keberadaan Roh atau Allah.

Pertama, pengaruh non-lokal tidak dimediasi atau diperantarai oleh medan magnetik atau gravitasi atau medan-medan lain, seperti yang kita tahu dari ilmu fisika. Tidak ada apa pun yang bisa membentengi interaksi ini. Kisah tentang manifestasi kuasa ilahi Yesus sesudah kebangkitan-Nya bisa memperjelas sifat ini. Ketika murid-murid-Nya ada dalam suatu ruang tertutup, Dia tiba-tiba hadir dengan tubuh baru-Nya yang utuh di tengah-tengah mereka – tanpa masuk melalui pintu. Dalam perjalanan-Nya bersama dua orang yang menuju Emaus, Yesus muncul dalam rupa manusia kemudian menghilang begitu kedua orang itu menyadari bahwa tamu-Nya adalah Yesus yang sudah bangkit dari maut. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa kehadiran-Nya bersifat non-lokal tapi fisikal. “Menghilangnya” Dia sesudah kehadiran-Nya itu juga menunjukkan realitas non-lokal tapi bersifat nonfisikal. Entah hadir atau menghilang, manifestasi kuasa ilahi-Nya tidak dimediasi oleh penerapan hukum-hukum ilmu fisika apa pun yang kita ketahui sejauh ini. Dalam hubungan dengan teori tentang ruang hiper, manifestasi kuasa Yesus ini diduga berasal dari penerapan dimensi-dimensi lebih “tinggi.”

Kedua, pengaruh non-lokal terjadi secara serempak. Pengaruh ini tidak dibatasi oleh kecepatan cahaya. Roh atau Allah Mahahadir dan sangat berkuasa. Tidak ada tempat yang di dalamnya Roh tidak tinggal karena segala sesuatu diciptakan dari Roh. Karena kemahadiran-Nya, perbedaan waktu tidak berlaku. Misalnya, seribu tahun di mata Allah sama dengan satu hari atau satu juta tahun bagi-Nya sama dengan satu detik. Masa lampau, masa kini, dan masa depan adalah “ilusi” bagiNya. Kemahadiran Roh atau Allah mengakibatkan Dia tidak membutuhkan sekian detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad, milenium, dan bahkan miliaran tahun cahaya untuk bergegas-gegas menjawab doa-doa kita. Dia tidak terikat oleh ruang dan waktu karena Dia – dengan meminjam frasa Rendra, budayawan, penyair, dramawan, dan aktor tenar itu – “meruang dan mewaktu” dan berada di luar ruangwaktu. Sesuai kehendak-Nya yang berdaulat, Dia mampu menjawab doa-doa kita di mana pun dan kapan pun Dia berkehendak. Dalam hubungan dengan teori tentang ruang hiper, kemahadiran Roh atau Allah adalah manifestasi dari dimensi-dimensi yang keberadaannya sulit sekali, kalau bukan mustahil, untuk dibayangkan dan dipahami oleh kita.

Ketiga, komunikasi non-lokal tidak berkurang bersama dengan jarak antara benda-benda. Entah jarak antara benda A dan B selebar daun kelor atau seluas seluruh alam semesta, komunikasi non-lokal tetap sama. Dalam hubungan dengan Roh atau Allah, sifat ketiga ini bisa dipahami – meskipun tidak sepenuhnya oleh akal budi tridimensional kita – melalui kemahahadiran-Nya atau kekekalan-Nya. Dalam kemahadiran-Nya, komunikasi manusia dengan Roh atau Allah tidak bisa diperikan sebagai bersifat jauh atau dekat. Roh tidak ada di dalam suatu bagian dari ruang dan waktu: Dia ada di mana pun dan kapan pun. Karena itu, Dia bisa mendengarkan secara jelas doa-doa kita – di mana pun dan kapan pun.

Kekekalan Allah Sangat Sulit Kita Pahami

Dalam hubungan dengan teori tentang ruang hiper, sifat komunikasi non-lokal macam ini sudah kita pahami melalui penjelasan tentang makhluk-mahkluk adi alami dari dimensi spasial keempat atau dari alam semesta pancadimensional. Ingat, misalnya, tentang orang dari dimensi spasial keempat yang mampu menghilangkan diri kemudian memunculkannya lagi sekehendak hatinya. Tapi ada beda besar antara makhluk adi alami ini dan Tuhan. Makhluk adi alami tidak mahahadir sementara Tuhan mahahadir. Dengan demikian, kemahadiran atau kekekalan Roh atau Allah menyingkapkan dimensi-dimensi keberadaan yang sangat sulit dibayangkan dan dipahami akal budi kita yang tidak mahahadir ini.

0 komentar: