CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

16 April 2009

22. Kehendak Bebas Dikukuhkan Mekanika Kuantum?

Apa itu “kehendak bebas”? Kata “kehendak” berarti kekuatan mental dengan mana seseorang bisa mengarahkan pikiran dan tindakannya, dan memengaruhi pikiran dan tindakan orang lain. Kata “bebas” (suatu sifat seseorang) berarti tidak menjadi seorang budak; tidak berada di bawah kekuasaan orang atau orang-orang lain, tidak berada di dalam penjara; mempunyai hak pribadi dan kemerdekaan sosial dan politik. Ketika seseorang mengatakan dia memutuskan untuk, misalnya, berimigrasi dan menetap di Sydney, Australia, berdasarkan kehendaknya yang bebas, dia ingin mengatakan dia membuat pilihan ini tanpa diwajibkan atau dipaksakan orang lain padanya. Ini arti umum dari frasa “kehendak bebas".

Lalu, apa itu “kehendak bebas” menurut Alkitab? Konsep ini mempunyai kaitan dengan pemikiran Alkitab tentang kebebasan dan kemerdekaan manusia.

Tiga Perspektif tentang Kehendak Bebas

Dari pemahaman mendasar tadi, para ahli teologia mengembangkan tiga sudut-pandang tentang kehendak bebas. Ada perspektif moralitas dan psikologi, metafisika, dan teologia.

Perspektif moralitas dan psikologi

Dari sudut-pandang moralitas dan psikologi, kehendak bebas adalah kemampuan seseorang untuk menentukan pilihan secara spontan, tanpa dipaksakan, secara sukarela. Kemampuan dia menyiratkan juga kemampuannya untuk menunjukkan tanggungjawabnya. Dari sudut-pandang ini, Alkitab berisi banyak acuan tentang kehendak bebas; ia dimiliki semua manusia – yang bertobat dan yang belum bertobat.

Perspektif metafisika

Dari sudut-pandang metafisika, kehendak bebas adalah tindakan-tindakan manusia di masa depan yang pada dasarnya tidak bisa diramalkan, tidak bisa dipastikan. Alkitab tidak spesifik tentang kehendak bebas menurut pemahaman ini; dengan kata lain, Alkitab tidak menegaskan atau menyangkal ciri tidak bisa diramalkan atau tidak bisa dipastikan dari kehendak bebas manusia. Tapi ia menegaskan bahwa Allah mengetahui masa depan manusia dan, dalam hal tertentu, Ia mengatur lebih dahulu semua hal.

Perspektif teologia

Dari sudut-pandang teologia, kehendak bebas adalah suatu petunjuk tentang suatu kemampuan bawaan manusia yang belum bertobat untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik tanpa syarat menurut pandangan Allah, atau untuk menjawab undangan Injil. Dalam konteks ini, Alkitab menunjukkan bahwa manusia yang belum bertobat memiliki kehendak bebas untuk mengikatkan dirinya sekaligus pada dosa tapi, ketika bertobat, mengikatkan kehendaknya yang bebas pada kebenaran Firman Allah dan mendapat jaminan keselamatan rohani.

Ringkasan

Ringkas kata, kehendak bebas manusia adalah kemampuan manusia untuk menentukan pilihan tanpa paksaan dan untuk menentukan tindakan-tindakannya di masa depan yang tidak bisa diramalkan. Selain itu, kehendak bebas adalah suatu petunjuk tentang suatu bawaan manusia yang belum bertobat untuk melakukan tindakan yang baik atau untuk menanggapi Injil.

Kehendak Bebas menurut Dr. Schroeder

Konsep manakah dari kehendak bebas yang menjadi fokus Mekanika Kuantum? Pertanyaan ini dijawab dengan meringkaskan pemikiran Dr. Gerald L. Schroeder yang sudah disebutkan dalam dua tulisan sebelumnya. Suatu bab dari bukunya, The Science of God the Convergence of Scientific and Biblical Wisdom (1997) membahas masalah kehendak bebas menurut Perjanjian Lama dari sudut-pandang sains. Bagian yang menyoroti kehendak bebas dari perspektif mekanika kuantum inilah yang diringkaskan untuk Anda.

Gagasan tentang kehendak bebas yang dikemukakan Schroeder berdasarkan PL. Ia menunjukkan persamaan dengan sudut-pandang pertama dan kedua tadi tentang kehendak bebas. Gagasan tentang kehendak bebas dalam PB adalah hasil perenungan kami sendiri.

Ada pilihan

Kehendak bebas artinya ada alternatif, ada pilihan. Lebih daripada tiga ribu tahun yang lalu, Alkitab mendefinisikan kehendak bebas dalam arti pilihan antara kehidupan dan kematian, antara berkat dan kutuk. Dalam Ulangan 30:19, kita baca: Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, . . . . Ada perjuangan antara keinginan jasmani akan kesenangan dari kehidupan kekal dan keinginan jiwa akan puncak-puncak pencapaian duniawi dan rohani.

Mengapa pilihan kita antara kehidupan dan kematian dan bukan antara kebaikan dan kejahatan? Bagaimanakah kita boleh memilih kehidupan lebih daripada memilih kematian?

Batas-batas kehendak bebas

Sebelum menjawab kedua pertanyaan ini, kita harus tahu batas-batas kehendak bebas kita. Ada hukum alam yang menetapkan batas-batas ini. Hukum alam, misalnya, membatasi kehendak bebas seorang anak untuk terbang seperti seekor rajawali, untuk berjalan menembus tembok tanpa cedera sedikit pun, untuk pergi ke masa lampau selama lima tahun lalu balik ke masa kini, dan untuk memasukkan tangannya ke dalam api dengan percaya tangannya tidak akan terbakar. Dia pasti tewas, terluka atau ditertawai sebagai anak gila kalau dia benar-benar melaksanakan kehendak bebasnya. Barangkali, hukum-hukum ini juga menetapkan sebelumnya masa depan yang akan kita tempuh. Tapi melampaui kendala ini, teologia tampaknya mengantisipasi kehendak bebas. Teologia, berdasarkan Alkitab, mengatakan pada kita bahwa Allah mengetahui masa depan. Kalau masa depan kita sudah diketahui sebelumnya, kebebasan kita boleh dibilang adalah suatu ilusi.

Paradoks bersisi tiga

Masa depan yang sudah diketahui sebelumnya oleh Allah dan mengakibatkan kebebasan kita adalah suatu ilusi menunjukkan suatu paradoks. Paradoks ini bisa dibagi menjadi tiga aspek.

Pertama, apakah dunia bersifat deterministik? Apakah hukum-hukum alam, hubungan sebab dan akibat, menetapkan semua peristiwa masa depan?

Kedua, kalau Allah mengetahui masa depan, apakah ada gunanya bila ilmu fisika memberi kita peluang akan pilihan-pilihan?

Ketiga, bagaimanakah kaitan antara paradoks dari kehendak bebas dan iman Kristen?

Jawaban terhadap aspek pertama paradoks tadi adalah bahwa masa depan, menurut ilmu fisika modern, tidak bisa diramalkan. Sifat ini memungkinkan adanya kehendak bebas.

Kehendak bebas vs determinisme

Konsep tentang kehendak bebas bertentangan dengan filsafat determinisme. Determinisme adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa gejala-gejala (phenomena) dikondisikan oleh data yang ada sebelumnya. Dalam determinisme, segala sesuatu sudah ditentukan atau ditakdirkan; karena itu, pilihan antara yang baik dan yang jahat adalah omong kosong. Selain itu, determinisme mendapat dukungan psikoanalisis, suatu aliran psikologi abad ke-20. Menurut psikoanalisis, setiap tindakan manusia mempunyai sebabnya. Kehendak bebas manusia berarti ada tindakan berdasarkan pilihan; tindakan ini berarti tidak ada faktor penentu tindakan berdasarkan pilihan itu. Tindakan tanpa sebab tidak benar, menurut psikoanalisis. Jelas, ada konflik antara kehendak bebas dan determinisme.

Determinisme tidak bisa diterima karena bertentangan dengan suatu implikasi dari teori kuantum. Determinisme menyatakan masa depan bisa diramalkan dan, karena itu, sudah ditetapkan sebelumnya. Ada hukum sebab-akibat: suatu sebab tertentu selalu menghasilkan akibat yang sama. Secangkir teh hangat yang dibiarkan dalam suatu suhu normal akan selalu menjadi dingin. Air dalam suhu yang sangat dingin akan membeku. Ini dua buah contoh dari hukum sebab-akibat dalam alam. Tapi filsafat determinisme digugurkan oleh asas ketakpastian Heisenberg, asas yang sekaligus menyiratkan kehendak bebas. Berdasarkan asas ini, masa depan tidak bisa diramalkan dan, karena itu, determinisme tidak benar.

Mekanika Kuantum dan Kehendak Bebas

Asas ketakpastian Heisenberg

Pada tahun 1927, Werner Karl Heisenberg, seorang fisikawan cemerlang asal Jerman, menerbitkan asasnya yang terkenal, asas ketakpastian, disebut juga asas indeterminasi. Asas ini menetapkan suatu batas pada presisi dengan mana posisi dan pusa atau momentum – yaitu, massa dikalikan kecepatan – zarah apa pun bisa diukur. Semakin dekat Anda menetapkan pusa suatu benda, semakin kurang tepat Anda bisa mengukur posisi benda itu. Nilai tepat kedua-duanya tidak sekalipun bisa diukur. Ini bukan suatu masalah menunggu akan adanya suatu “penggaris” yang lebih baik atau suatu “speedometer” yang lebih baik. Yang paling baik dari alat-alat ini, sekalipun dipakai dalam dunia fantasi teoritis, akan selalu memengaruhi kondisi yang tengah diukur.

Untuk pertama kali, komunitas ilmiah mengakui ada suatu batas terhadap pengetahuan ilmiah. Tidak mampu tahu masa kini secara tepat jelas berarti bahwa masa depan tidak bisa diramalkan.

Teori Heisenberg secara cepat dikembangkan oleh raksasa-raksasa Ilmu Fisika Kuantum modern lain seperti Wolfgang Pauli, Max Born, dan khususnya Niels Bohr menjadi apa yang dkenal sebagai penafsiran Kopenhagen. (Penafsiran Kopenhagen mengacu pada penafsiran kuantum oleh pelopor-pelopor teori kuantum, termasuk Bohr yang lahir di Denmark, yang bermarkas di ibu kota Denmark ini.) Pada intinya, asas ketakpastian Heisenberg menyadarkan kita bahwa dunia fisikal tidak sekalipun berisi suatu realitas khusus. Kemungkinan apa pun tentang adanya sesuatu yang diukur menghasilkan ketakpastian. Hanya ketika kita membuat suatu pengamatan pada satu titik khusus, barulah kemungkinan-kemungkinan lain lenyap.

Teori Heisenberg lalu membentuk banyak dari dasar-dasar Mekanika Kuantum. Menurut teori ini, benda-benda dalam alam semesta mempunyai batas yang luas tapi tidak jelas. Karena tidak jelas, tidak ada tepi untuk diukur. Data eksperimental kemudian membuktikan bahwa ketakjelasan ini nyata. Dalam riset ini, ketika perluasan yang samar-samar dari beberapa zarah tumpang-tindih, zarah-zarah itu sebenarnya melebur menjadi suatu kesatuan tunggal yang besar.

Mau tidak mau, kita dipaksa meninggalkan konsep kita tentang suatu dunia yang dibentuk oleh zarah-zarah subatomik klasik – seperti proton, neutron, dan elektron – yang memiliki tepi-tepi yang jelas seperti bola ping-pong mikroskopik. Zarah-zarah subatomik dipahami lebih baik sebagai benda-benda kuantum, yang secara ananta direntangkan melintasi seluruh ruang oleh suatu gejala yang sampai sekarang belum diketahui dan belum bisa diukur. Gejala ini barangkali ada dalam suatu dimensi di luar ruang dan waktu.

Kausalitas harus tidak benar

Agar kehendak bebas ada, kausalitas – tesis bahwa sebab yang sama menghasilkan akibat yang sama – harus tidak benar secara universal. Suatu eksperimen klasik yang menunjukkan kualitas yang aneh dari alam ini, bahwa kausalitas tidak benar secara universal, ialah eksperimen celah ganda yang sudah dijelaskan dalam tulisan terdahulu. Suatu ciri yang belum diperjelas ialah bahwa radiasi elektromagnetik – mikrogelombang, gelombang radio, sinar cahaya, sinar X, sinar gamma – dan materi subatomik – seperti elektron, proton, dan neutron – adalah fakta-fakta yang sudah diamati. Fakta-fakta ini membentuk alam semesta dan diri kita. Selain itu, radiasi elektromagnetik dan materi subatomik menunjukkan sifat-sifat yang bisa diperikan sebagai timbul secara serempak dari gelombang (medan energi) dan zarah-zarah (kesatuan yang terpisah-pisah). Dualitas gelombang-zarah ini adalah suatu paradoks alam. Bagaimanakah sesuatu bisa menjadi suatu gelombang dan suatu zarah?

Pemecahan dualitas gelombang dan zarah dari materi subatomik menjadi rumit ketika eksperimen celah ganda dilakukan dengan memakai zarah-zarah klasik seperti elektron dan bahkan zarah yang padat seperti atom dan juga foton. Semuanya berperilaku sebagai gelombang dan zarah, meskipun ini secara resmi mustahil terjadi! Dalam teori, semua materi, bahkan Anda sendiri, memiliki dualitas gelombang-zarah.

Bohr menunjukkan bahwa paradoks dualitas ini memiliki implikasi yang kuat yang berkaitan dengan pengetahuan kita tentang dunia subatomik. Kalau kita mengukur suatu entitas dengan suatu cara yang menganggapnya sebagai suatu gelombang, kita menemukan suatu gelombang. Kalau kita mengukur entitas yang sama dengan menganggapnya suatu zarah, kita akan menemukan suatu zarah. Kita melihat dunia seperti yang kita asumsi adanya dunia itu.

Eksperimen celah tunggal atau celah ganda yang sudah dijelaskan memperkuat asumsi tadi, asumsi tentang dualitas gelombang-zarah dari materi mikroskopik. Yang cocok untuk eksperimen ini adalah radiasi elektromagnetik (mikrogelombang, gelombang radio, cahaya, sinar X, sinar gamma), elektron, dan proton. Sejenis meriam dipakai untuk menembak unsur-unsur materi mikroskopik ini satu demi satu melewati celah tunggal atau celah ganda.

Beberapa ciri khas materi subatomik dan implikasinya

Beberapa ciri khas materi subatomik yang diketahui melalui eksperimen celah ganda dan yang belum dijelaskan dringkaskan dalam tulisan kali ini. Yang ditembak satu demi satu melewati celah ganda itu adalah zarah-zarah individual dengan masa rehat yang cukup panjang (satu jam) antara setiap tembakan.

Pertama, suatu atom tunggal adalah suatu entitas tunggal, dengan lokalitas yang pasti. Akan tetapi, ketika ditembakkan melalui salah satu dari celah ganda, ia tampaknya tahu tempat ia berada. Meskipun kita sudah membuka celah ganda, kita masih menembakkan suatu atom tunggal satu demi satu. Logika kita mengatakan atom itu akan melaju lewat salah satu celah itu. Kalau celah lain ditutup, atom itu mendarat di mana pun pada pola difraksi di layar pencatat. Kalau celah lain itu dibuka, atom itu tidak akan pernah mendarat di kawasan gelap (yang dilarang) yang aslinya kita lihat dalam pola interferens yang timbul ketika kita membuka kedua celah itu. Tapi yang sesungguhnya terjadi membingungkan logika kita. Kalau atom yang ditembakkan itu melewati satu celah, mengapa tindakan kita membuka atau menutup celah lain mempunyai akibat apa pun pada lajunya melewati celah itu? Bagaimanakah atom tunggal itu “tahu” kalau celah kedua dibuka atau ditutup? Tapi atom itu tahu! Apa pun juga, atom itu menyadari lingkungannya.

electron doubleslit experiment

Eksperimen Celah Ganda

Elektron-elektron ditembakkan melalui dua celah dan membentuk pola interferens pada layar monitor di belakang celah ganda.

Kedua, hasil yang sama diperoleh ketika foton-foton tunggal ditembakkan. Foton adalah zarah cahaya yang melaju pada kecepatan cahaya. Keanehan terjadi. Dengan hanya satu celah saja yang terbuka, foton bisa mendarat di mana pun di dalam kawasan kabur yang ditandai di layar pencatat. Inilah berkas-berkas gelap, kawasan terlarang. Padahal kita menembakkan hanya suatu foton tunggal satu demi satu. Seharusnya, zarah tunggal ini melewati hanya salah satu celah itu. Tapi untuk alasan yang belum diketahui, zarah-zarah tunggal (foton-foton tunggal) ini tidak mampu memaksakan jalannya ke lokasi “terlarang”.

light doubleslit experiment

Foton Tunggal Yang Ditembak Satu Demi Satu Melalui Satu Celah

Foton-foton yang ditembak melalui satu celah secara mengherankan mendarat di mana pun di kawasan kabur yang ditandai di layar monitor.

Ketiga, timbul dua pertanyaan. Yang pertama tentang interferens, yaitu, penambahan atau pengurangan puncak dan lembang gelombang. Kalau masalahnya tentang interferens yang menyebabkan timbulnya pola berganti-gantian antara terang dan gelap, dengan apakah zarah itu berinterferens? Hanya suatu zarah yang ditembakkan satu demi satu, dan kita menunggu selama satu jam sebelum melakukan tembakan berikutnya. Hanya satu zarah yang lewat secara berurutan melalui celah itu dan tiba di layar pencacat, namun zarah itu dengan suatu cara yang belum diketahui berinterferens dengan dirinya sendiri! Yang kedua: bagaimanakah zarah foton itu tahu bahwa celah itu terbuka atau tertutup? Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana atau mengapa zarah itu tahu. Tapi ia tahu.

Keempat, eksperimen-eksperimen ini menandai akhir hukum kausalitas. Dalam ilmu fisika klasik, kausalitas mengharuskan adanya kondisi awal. Kalau kondisi awal sama, hasilnya harus sama. Tapi dalam eksperimen yang memakai celah ganda, hasilnya malah bersifat acak, berubah-ubah, tidak pasti. Suatu zarah melaju pada suatu kecepatan tertentu lewat suatu celah tertentu ke arah suatu layar tertentu. Tempat ia jatuh pada layar pencacat itu dipengaruhi suatu celah kedua yang tidak membuatnya lewat. Tentang zarah yang melaju itu sendiri, kondisi awal memberikan hasil yang berbeda.

Kelima, asas ketakpastian menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengukur masa kini secara tepat. Ilmu Fisika Kuantum, terutama eksperimen celah ganda, menunjukkan bahwa sekalipun kita mampu mengukur semua segi masa kini dengan suatu peluang kesalahan sebesar nol, masa depan tidak akan bisa diramalkan. Ini berarti apa yang sejauh ini kita percaya adalah hukum kausalitas, suatu hukum alam tentang hubungan sebab dan akibat, bukanlah suatu hukum. Ia hanya suatu teori. Sekarang, pada tingkat kuantum, ia suatu teori yang sudah dibuktikan sebagai keliru.

Kehendak Bebas menurut Kristen Didukung Mekanika Kuantum

Rangkaian pokok-pokok ini menuntun kita pada suatu kesimpulan yang tidak bisa dielakkan: kondisi awal yang sama tidak membuahkan hasil yang sama. Ini berarti kondisi masa kini dari alam semesta tidak menetapkan masa depan alam semesta. Memang ada selalu kemungkinan kita menemukan penyebab yang mendasari keanehan perilaku zarah tadi. Meskipun demikian, sejauh yang kita pahami tentang dunia kita masa kini melalui eksperimen celah ganda dan eksperimen lain, Ilmu Fisika Kuantum mendukung kebenaran ajaran Kristen tentang kehendak bebas.

Paradoks tentang kehendak bebas

Tapi doktrin Kristen tentang kehendak bebas berisi suatu paradoks. Allah itu Mahatahu; karena itu, Dia tahu masa depan, termasuk masa depan manusia. Tapi Allah yang tahu masa depan manusia memberinya kehendak bebas. Kalau Allah tahu masa depan manusia, mengapa Dia memberi mereka kehendak bebas? Bukankah hasil akhir hidup manusia ke arah depan sudah diketahui sebelumnya oleh Allah?

Orang percaya bisa saja mengatakan Allah tahu masa depan kita karena Dia berada di luar waktu. Ini suatu jawaban berdasarkan iman, bukan suatu jawaban ilmiah.

Paradoks tadi baru dipecahkan sains melalui Ilmu Fisika Kuantum abad ke-20. Perdebatan selama berabad-abad tentang pertentangan antara kemahatahuan Allah dan kehendak bebas manusia dipecahkan melalui penafsiran tentang keanehan zarah melalui eksperimen celah ganda dan eksperimen lainnya.

Tiga parameter alam semesta kita

Pemecahan ini bisa dijelaskan lebih jauh melalui tiga parameter yang adalah ciri-ciri alam semesta kita, bukan ciri-ciri Allah. Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan yang mutlak dan lengkap menandai awal ruang, waktu, dan materi. Kedua, teologia sudah memegang posisi ini selama 3.000 tahun lebih. Ketiga, kosmologi dalam beberapa dasawarsa terakhir sudah setuju dengan posisi teologia Perjanjian Lama dan Kristen.

"Kekinian kekal" Allah

Allah tidak diciptakan dari ruang atau materi. Karena itu, Dia juga tidak terikat oleh waktu. Allah di luar waktu. Karena Dia di luar waktu, Dia berada dalam suatu “kekinian yang kekal, kekinian tanpa akhir,” dalam suatu kehadiran kekal yang mencakup masa lampau, masa kini, dan masa depan secara serentak.

Realitas Allah ini berisi dua makna. Pertama, dalam satu kerangka acuan, semua zaman dan peristiwa yang berlalu selama zaman ini ada secara serentak. Kedua, dalam kerangka acuan yang lain, peristiwa yang sama dipisahkan oleh waktu dengan suatu masa lampau yang sudah terjadi dan suatu masa depan yang masih akan datang.

Makna kedua ini diringkaskan secara bagus oleh dua orang fisikawan tenar, John Archibald Wheeler dan Edwin Taylor. Mereka mengatakan: “Waktu adalah cara alam untuk mencegah segala-galanya terjadi secara serentak.”

Kebebasan yang kita pakai untuk memilih masa depan kita tidak bersifat mutlak dan tidak setara juga. Kalau kita lahir sebagai lelaki yang ganteng, kaya, dan berotak cemerlang, kita mempunyai pilihan yang terbuka bagi kita lebih banyak daripada yang tersedia kalau kita lahir sebagai lelaki yang jelek, miskin, dan bodoh. Anak panah keberuntungan, peluang yang menempatkan kita dalam suatu lingkungan hidup pada suatu waktu tertentu, menentukan kerangka yang di dalamnya kita mewujudkan kehidupan pribadi kita.

Allah sudah mengetahui masa depan manusia

Namun, banyak ayat Alkitab tampaknya bertentangan dengan konsep bahwa masa depan bahkan sampai suatu batas tertentu adalah milik kita untuk dipilih. Masalah ini bisa disimak dari beberapa kitab dalam Perjanjian Lama.

Dari Kitab Kejadian sampai dengan Kitab Ulangan dalam Perjanjian Lama, implikasi tentang suatu masa depan yang sudah diketahui sebelumnya oleh Allah diulang-ulangi. Berdasarkan kemahatahuan atau Kekinian Kekal (the Eternal Now) dari Allah, Allah berkali-kali mewahyukan masa depan umat Israel sebelum umat-Nya mengalami masa depan itu. Dia, misalnya, mengatakan kepada Abraham, leluhur Israel dan semua orang percaya, bahwa keturunan Abraham – bangsa Israel – akan mengalami perbudakan selama 400 tahun di Mesir kuno. Apa yang Dia katakan memang terjadi jauh sesudah Abraham wafat. Penggenapan nubuat ini terjadi sesuai tindakan umat Israel sendiri. Penggenapan nubuat ini juga melalui syarat-syarat. Berkali-kali, Dia berfirman kepada umat Israel dengan memakai kata “jika.”: jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku (Kel 19:5), . . . [jika] kamu dengan sungguh-sungguh mendengarkan perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini (Ul 11:13), dan seterusnya. Rentetan peristiwa berdasarkan syarat tadi menunjukkan bahwa pilihannya ada pada umat Israel. Mereka menjatuhkan pilihan untuk mematuhi atau mengabaikan syarat-syarat Allah dan menerima akibat dari pilihan-pilihannya, dari kehendak bebasnya.

Pilihan kita memengaruhi masa depan kita

Jadi, Alkitab sudah berbicara secara jelas tentang kehendak bebas. Pilihan kita sekarang memengaruhi masa depan kita.

Pilihan yang kita buat yang sudah diketahui Allah sebelumnya menunjukkan bahwa Allah berada di luar waktu. Pernyataan ini, seperti yang sudah dikatakan, diperkuat sains melalui Ilmu Fisika Kuantum. Ilmu ini menyatakan bahwa alam tidak menetapkan masa depan kita. Kebenaran alkitabiah yang menyatakan bahwa pilihan manusialah yang membentuk aliran peristiwa diperkuat oleh sains tentang masa depan yang tidak bisa diramalkan. Kalau begitu, apakah sang Pencipta tahu masa depan bahkan sebelum kita memilihnya?

Kemahatahuan Allah

Jawaban terhadap pertanyaan ini kembali lagi kepada kedua kerangka acuan yang sudah disebutkan. Ada kerangka acuan di dalam aliran waktu dan ada kerangka acuan di luar aliran waktu. Bagi sang Pencipta, berada di luar waktu mengakibatkan aliran peristiwa tidak mempunyai arti. Tidak ada masa depan dalam arti apa yang “akhirnya” akan terjadi. Masa depan dan masa lampau ada dalam masa kini. Yang berkuasa adalah Kekinian Kekal, yaitu, keserentakan “pengalaman” atau keberadaan semua waktu, eksistensi semua zaman.

Kemahatahuan Allah diperjelas oleh konsep tentang Kekinian Kekal yang bisa disimak dari nama-Nya yang – dalam tradisi Ibrani kuno – dibentuk oleh empat huruf: YHVH, kemudian dieja sebagai Yehovah. Alkitab bahasa Indonesia menerjemahkan nama ini sebagai “Akulah Ada Yang Aku Ada.” Meskipun terjemahan ini tepat, ia kurang memperjelas konsep Kekinian Kekal dari segi kala (tense). Maklum, bahasa Indonesia tidak mengenal konsep kala, seperti yang ada dalam bahasa Inggris. Berdasarkan konsep kala ini, kita bisa memahami arti YHVH lebih jelas dalam bahasa Inggris demikian: I was, I am, I will be. Pengertian Yehovah dalam bahasa Inggris ini menunjukkan bahwa masa lampau, masa kini, dan masa depan semuanya terkandung dalam Kekinian Kekal.

Kekinian Kekal didukung ilmu fisika modern

Ilmu fisika modern pun mendukung kebenaran teologis yang sudah dipertahankan selama lebih daripada 3.000 tahun tentang Kekinian Kekal. Hukum relativitas Einstein menyingkapkan fakta yang mengejutkan bahwa ruang, waktu, dan materi selalu berubah-ubah dan selalu bergantung pada cara yang di dalamnya ketiga komponen alam semesta ini diamati. Satu-satunya konstanta dalam alam semesta kita adalah kecepatan cahaya (sekitar 300.000 kilometer per detik).

Menurut teori Einstein, kemudian dibuktikan oleh eksperimen-eksperimen, semakin cepat orang bepergian relatif dengan benda lain, semakin lambat mengalirnya waktu bagi orang yang bepergian relatif dengan aliran waktu yang diukur pengamat yang berdiri di tempatnya. Pada kecepatan cahaya (kecepatan tertinggi yang dicapai dalam alam semesta kita), waktu sama sekali berhenti mengalir. Waktu semua peristiwa menjadi terkompresi ke dalam masa kini, suatu kekinian tanpa akhir. Hukum relativitas sudah mengubah keberadaan tanpa akhir dari suatu kleim teologis menjadi suatu realitas fisikal.

Ilustrasi tentang suatu supernova

Untuk memahami konsep tentang Kekinian Kekal lebih baik, kita memakai suatu ilustrasi tentang suatu supernova – suatu ledakan cahaya dari sebuah bintang – di masa lampau. Berapa tahun cahaya yang dibutuhkan ledakan cahayanya untuk sampai di Bumi dan diketahui pengamat astronomi?

t014900a

Nebula Kepiting

Suatu bintang supernova yang meledak menyisakan suatu bahan awan gas yang mengembang dengan cepat bernama nebula. Nebula Kepiting dihasilkan ketika suatu bintang dalam galaksi Bima Sakti meledak.

Pada tanggal 23 Februari 1987, Ian Sheldon dan asistennya, Oscar Duhalde, menemukan melalui Observatorium Las Campanas di atas gunung setinggi sekitar 2.400 meter di Cili bagian utara, suatu supernova, suatu hasil ledakan sebuah bintang yang sangat jauh di alam semesta, pada jam 3 pagi. Cahayanya baru mencapai Bumi dan bintang yang meledak itu disebut supernova 1987A.

Jaraknya sejauh 170.000 tahun cahaya dari Bumi. (Satu tahun cahaya adalah jarak yang ditempuh rambatan cahaya dalam ruang hampa dan dalam satu tahun, yaitu 9.46 triliun kilometer.) Meskipun tampak jauh, jarak ini dekat dalam perhitungan astronomik. Ia supernova paling dekat yang pernah diamati melalui teleskop besar.

Cahaya dari bintang yang meledak itu memulai perjalanannya lewat ruang angkasa selama 170.000 tahun (di Bumi) sebelum Shelton melihatnya untuk pertama kali. Selama 170.000 tahun, cahaya supernova itu melaju diam-diam lewat ruang angkasa, meledakkan terangnya ke segala arah. Sebagian ledakan cahaya itu menuju ke arah tempat Bumi akan ada pada jam tiga pagi pada tanggal 23 Februari 1987.

Pada saat ledakan, manusia Neanderthal – manusia purba yang hidup antara 130.000 dan 40.000 tahun yang lalu – sudah ada di Bumi. Seandainya ada yang menengok ke langit, dia tidak akan melihat hal yang luar biasa. Cahaya supernova itu masih berjarak 170.00 tahun cahaya. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, manusia Cro-Magnon – sejenis manusia prasejarah – membuat alat-alat dan menguburkan orang mati, tapi informasi tentang supernova itu masih belum mencapai Bumi. Sekitar 6.000 tahun yang lalu, roh manusia dihembuskan ke dalam manusia pertama, Adam. Citra tentang sang Pencipta Kekal sekarang hadir di Bumi. Tulisan ditemukan dan untuk pertama kali sejarah direkam dalam bentuk gambar-gambar. Peradaban berkembang subur. Tapi masih belum ada pengetahuan tentang ledakan cahaya itu.

0016d287

Manusia Neanderthal Tengah Menyalakan Api

Menurut para ilmuwan, manusia Neanderthal secara teratur memakai api, diperkirakan untuk memberi kehangatan, terang, dan cara untuk memasak makanan, dan perlindungan terhadap hewan pemangsa.

Sekitar 5.000 tahun yang lalu, Abad Perunggu awal mulai. Seribu lima ratus tahun lagi berlalu dan abjad ditemukan, hanya satu abad sebelum Kitab Taurat diperintahkan untuk ditulis di Gunung Sinai. Bagi mereka yang meneliti langit, tidak ada tanda tentang ledakan bintang itu. Keluarnya bangsa Israel dari Mesir, pembangunan dan penghancuran dua Bait Allah di Yerusalem, revolusi industri di Inggris (1845), Holocaust dalam Perang Dunia II, semuanya berlalu, dan abad perjalanan ruang angkasa dan revolusi informasi tiba. Namun, cahaya supernova itu masih melaju diam-diam dan secara rahasia lewat ruang angkasa. Tanpa peringatan, ledakan cahaya itu tiba pada malam 23 Februari 1987.

Di Bumi sudah berlalu 170.000 tahun. Kampung-kampung dari suku-suku primitif sudah menjadi metropolis-metropolis dan keturunan para gembala sudah belajar untuk berjalan di ruang angkasa. Bayangkan bahwa Anda bukan dari Bumi tapi memiliki kesadaran tanpa semua sisi materialnya. Anda bepergian lewat ruang angkasa dalam sebuah kapal ruang angkasa imajiner tanpa massa; kapal itu melaju pada kecepatan cahaya bersama dengan foton-foton supernova itu selama 170.000 tahun Bumi. Jangka waktu ini dibutuhkan cahaya supernova untuk mencapai kita. Berapa banyak waktu yang sudah Anda sebagai makhluk tak kasatmata alami? Berapa banyak detikan yang sudah dihasilkan jammu?

Jawaban atas pertanyaan tadi mengejutkan, hampir tidak bisa dipahami: jangka waktu atau detikan itu adalah nol! Tidak ada waktu yang berlalu: tidak ada beberapa tahun, beberapa jam, atau beberapa detik yang lewat. Yang ada itu waktu nol. Beda persepsi aliran waktu pada kecepatan cahaya bukan suatu beda kuantitatif dari banyak waktu (170.000 tahun) menjadi waktu yang lebih singkat. Beda aliran waktu adalah suatu beda kualitatif, beda antara keberadaan kita ketika semua peristiwa terjadi melalui suatu aliran waktu yang secara linear tidak berhenti dan suatu keberadaan yang di dalamnya waktu tidak ada. Dari perspektif itu, semua perkembangan yang terjadi selama 170.000 berlangsung secara serempak. Masa lampau, masa kini, dan masa depan sudah membaur menjadi suatu Kekinian Kekal, selalu hadir, dan tidak berakhir. Cahaya berada di luar waktu, suatu fakta alam yang dibuktikan dalam ribuan percobaan pada ratusan universitas.

Pada kecepatan cahaya, besok dan masa depan bisa berada secara serentak dengan hari ini dan kemarin. Waktu tidak berlalu.

Mengapa Alkitab mengkleim bahwa sang Pencipta yang berada di luar waktu mengetahui akhir pada awalnya? Ini bukan karena masa depan sudah secara fisikal terjadi di dalam dunia waktu, ruang, dan materi yang kita alami. Ini karena – seperti yang ditunjukkan Einstein pada kita – dalam aliran waktu, Kekinian Kekal – Akulah Ada Yang Aku Ada – adalah wajar.

Sangat signifikan bahwa cahaya adalah ciptaan pertama dalam alam semesta. Cahaya yang berada di luar waktu dan ruang adalah penghubung metafisikal antara kekekalan tanpa waktu yang mendahului alam semesta kita dan dunia waktu, ruang dan materi yang di dalamnya kita hidup.

Paradoks tentang dualitas gelombang-zarah

Cahaya yang menunjukkan foton mengingatkan kita kembali pada paradoks dualitas gelombang-zarah dari materi subatomik. Paradoks dualitas ini menjadi signifikan kalau kita ingat akan ajaran Kristen tentang iman dalam Perjanjian Baru. Dua sumber alkitabiah dan kaitannya dengan paradoks tadi akan dibahas lebih jauh. Yang pertama adalah definisi iman dalam Kitab Ibrani. Yang kedua adalah kuasa iman yang kecil sekali untuk mengubah rintangan sebesar apa pun.

Definisi iman ada dalam Ibrani 11:1: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Apa yang kita harapkan adalah apa yang kita bayangkan, mimpikan, inginkan, doakan, niatkan – semuanya mengacu pada aktivitas dunia dalam, dunia batin, dunia roh kita. Dasar semua aktivitas ini adalah iman. Kemudian, segala sesuatu yang tidak kita lihat adalah pengertian kita tentang kebenaran Firman Allah bahwa Allah menciptakan alam semesta yang kita lihat sekarang dari “apa yang tidak kita lihat”, termasuk dari zarah-zarah subatomik. Segala sesuatu yang tidak kita lihat mengacu juga pada janji Allah akan suatu masa depan yang lebih baik dan benar yang bisa saja kita tidak lihat atau alami sampai dengan tibanya langit dan bumi yang baru, Yerusalem Baru. Beberapa contoh ini adalah bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.

Dalam bahasa Mekanika Kuantum, iman sesuai definisi tadi mendasari niat kita melihat suatu entitas subatomik sebagai gelombang atau zarah. Selain itu, iman menjadi bukti bahwa entitas subatomik yang tidak bisa kita lihat dengan mata telanjang itu memang ada sebagai zarah atau gelombang ciptaan Allah jauh sebelum Mekanika Kuantum membuktikannya.

Suatu penerapan dari iman Kristen dikemukakan Yesus ketika Dia berbicara tentang kuasa iman yang kecil sekali untuk mengubah rintangan sebesar apa pun. Dalam Matius 17:20, Dia berkata: “Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, – maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.” Kuasa ini berasal dari Yesus, dibentuk di dunia dalam – di hati, jiwa, dan akal budi – orang yang dipilih-Nya. Dalam dunia kuantum tadi, kita melihat dunia seperti yang kita asumsi adanya dunia itu: melihat suatu materi subatomik sebagai gelombang atau zarah bergantung pada anggapan kita. Asumsi berarti hipotesis, konsep, postulat, premis, proposisi, teori, pengandaian. Asumsi dalam arti-arti ini berisi kebenaran yang bisa berubah. Iman tidak berubah karena adalah bagian dari hukum rohani, hukum ilahi, yang kekal yang diproyeksikan juga pada hukum alam. Tapi mirip dengan dunia kuantum tadi, iman yang sangat kecil memiliki kuasa hebat untuk melihat gunung – yaitu, masalah sebesar apa pun – berpindah: menyaksikan pemecahan secara kreatif atau bahkan secara ajaib dari masalah.

Persamaan dan perbedaan

Jelas, ada persamaan dan perbedaan antara dunia kuantum dan dunia iman Kristen. Kedua-duanya memiliki fokus perhatian: dualitas gelombang-zarah dalam dunia kuantum dan berpindah-tidaknya gunung dalam dunia iman. Dalam dunia kuantum, sifat gelombang atau zarah dari materi subatomik bergantung pada asumsi dan hasil pengukuran kita. Dalam dunia iman, berpindah-tidaknya gunung atau rintangan bergantung pada tinggi-rendahnya kualitas iman orang percaya.

Paradoks dan analogi tentang kebebasan

Apakah kaitan iman dengan kehendak bebas manusia? Pertanyaan ini akan dijawab melalui suatu penjelasan ringkas tentang paradoks tentang kebebasan dan suatu analogi disusul makna tersiratnya.

Sudah dijelaskan bahwa hukum alam membatasi kehendak bebas manusia. Lebih dalam lagi, kehendak bebas – suatu bagian dari paradoks tentang kebebasan – adalah sekaligus keterikatan. Pilihan kita untuk melakukan dosa atau mematuhi perintah Allah adalah sekaligus keterikatan kita pada dosa atau pada perintah Allah. Setiap pilihan atau keterikatan yang kita buat menimbulkan konsekuensinya: mati secara rohani kalau kita tetap berbuat dosa atau hidup secara rohani kalau kita tetap mematuhi perintah Allah. Dalam arti teologis, kehendak bebas manusia tanpa keterpisahannya dari Allah adalah sekaligus keterikatan kehendak bebasnya pada perintah-perintah Allah.

Paradoks dari kehendak bebas ini ada kaitannya dengan iman Kristen. Kalau entitas subatomik dalam dunia kuantum kita ubah menjadi iman dan sifat gelombang-zarahnya menjadi kuat atau lemah, maka ada-tidaknya perubahan sesuatu yang kita harapkan berdasarkan iman dan bukti segala sesuatu yang tidak kita lihat ditentukan oleh kuat-lemahnya iman kita pada Yesus. Kuat-lemahnya iman kita menyiratkan mutu kehendak bebas kita. Tapi mutu kehendak bebas kita adalah sekaligus mutu keterikatan kita. Pada apa? Pada iman di dalam dan melalui Yesus. Sembuhnya wanita yang menjamah jubah Yesus, berubahnya kesehatan dia karena jamahan itu, ditentukan oleh kuatnya iman dia pada Yesus. Seandainya imannya kepada Yesus lemah, dia barangkali tidak akan menjamah jubah Yesus dan, karena itu, kesehatannya tidak akan berubah. Seandainya dia tidak sembuh, dia menunjukkan kehendak bebas yang tidak kuat. Tapi dia sembuh. Mengapa? Imannya pada Yesus kuat, kehendak bebasnya yang terikat pada Yesus pun kuat. Dalam dunia iman, realitas ideal yang kita harapkan berdasarkan iman dan yang adalah bukti yang tidak kita lihat menunjukkan bahwa realitas faktual, gunung rintangan terhadap kehendak bebas kita, bisa dipindahkan atau diubah oleh kuasa ilahi menjadi baik dan benar bagi orang percaya – mereka yang kehendak bebasnya terikat pada Yesus.

0 komentar: