CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

26 Desember 2009

36. Allah Pencipta Alam Semesta?

Masalah Asas Antropik

Perdebatan pertama tentang apakah Allah Pencipta alam semesta atau tidak berkenaan dengan asas antropik. Ini adalah asas yang mengatakan bahwa adanya kehidupan membatasi jenis alam semesta karena berisi kehidupan itu. Istilah ini berkaitan dengan antropomorfisme, yaitu, pemberian ciri-ciri manusia pada benda-benda organik dan nirorganik yang bersifat  nirmanusia (nonhuman). Menurut sejarah, ilmuwan-ilmuwan masa awal sering melakukan kesalahan antropomorfisme, yang menganggap bahwa benda-benda dan hewan punya kualitas mirip manusia.

Tidak semua ilmuwan, karena itu, menerima antropomorfisme sebagai bersifat ilmiah dan benar. Akan tetapi, selama beberapa dasawarsa di abad ke-20, beberapa ahli kosmologi sangat terkejut ketika menemukan bahwa antropomorfisme menyelinap balik ke dalam sains, dengan menyamar sebagai asas antropik. Beberapa di antara ilmuwan itu malah secara terang-terangan mendukung asas ini dengan menyatakan mereka ingin menempatkan Allah kembali ke dalam sains.

Sebenarnya, ada keuntungan ilmiah dari perdebatan aneh ini tentang asas antropik. Perdebatan ini berkisar pada fakta yang tak terbantahkan bahwa seandainya alam semesta diubah melalui jumlah yang paling kecil, alam semesta tidak mungkin akan ada. Apakah fakta luar biasa ini hanya suatu kebetulan yang menguntungkan, atau apakah ia menunjukkan karya Tuhan?

Ada dua versi asas antropik: asas antropik “lemah” dan asas antropik “kuat”. Apa itu?

Asas antropik “lemah”

Asas antropik versi ini dibatasi pada kehidupan yang cerdas sebagai suatu fakta eksperimental. Asas ini menyatakan bahwa manusia sebagai bentuk hidup yang cerdas dan memang berada dalam alam semesta harus dipandang sebagai suatu fakta eksperimental yang menolong kita memahami konstanta alam semesta.  Versi lemah dari asas antropik sulit dibela melalui argumen ilmiah dalam perdebatan.

Agar supaya ada kehidupan dalam alam semesta, Anda membutuhkan suatu rangkaian yang langka dari banyak keadaan kebetulan. Hidup bergantung pada beraneka ragam reaksi biokimia yang rumit. Hidup macam ini menjadi mustahil kalau kita mengubah beberapa konstanta ilmu kimia dan  fisika melalui suatu jumlah yang kecil. Misalnya, seandainya konstanta yang mengendalikan ilmu fisika nuklir diubah sedikit saja, maka sintesis nukleus dan reaksi unsur-unsur berat di dalam bintang dan supernova bisa menjadi mustahil. Hidup bergantung pada unsur-unsur berat (unsur-unsur di atas besi) demi penciptaan DNA dan molekul protein. Jadi perubahan yang paling kecil dalam ilmu fisika nuklir akan menafikan kemampuan unsur-unsur berat untuk dihasilkan di alam semesta. Kita adalah makhluk yang diciptakan oleh berbagai unsur dari bintang-bintang; akan tetapi, kalau hukum-hukum ilmu fisika berubah sedikit saja, maka “orang tua” kita tidak mampu mempunyai “anak-anak” (kita). Sebagai suatu contoh yang lain, aman untuk mengatakan bahwa penciptaan hidup di samudera masa awal barangkali berlangsung selama 1 miliar sampai dengan 2 miliar tahun. Akan tetapi, kalau kita dengan satu dan lain cara menyusutkan masa hidup proton menjadi beberapa juta tahun, maka hidup mustahil terbentuk. Tidak akan ada waktu yang cukup untuk menciptakan hidup dari benturan acakan molekul-molekul.

Catatan: Contoh terakhir menyiratkan pengaruh teori evolusi pada Michio Kaku ketika dia memperjelas syarat-syarat adanya kehidupan di bumi kita.

Singkat kata, adanya manusia menempatkan sejumlah sangat besar dari kendala-kendala yang ketat pada ilmu fisika tentang alam semesta. Kendala ini mencakup, misalnya, usia alam semesta, susunan kimiawi, suhu, ukuran, dan proses-proses fisikalnya.

Asas antropik “kuat”

Yang dibicarakan sejauh ini adalah asas antropik versi “lemah.” Bagaimana tentang asas antropik versi “kuat”?

Asas antropik ini menyatakan bahwa semua konstanta fisikal dari alam semesta sudah dipilih secara tepat (oleh Allah atau Tuhan Yang Mahaesa) sehingga hidup dimungkinkan ada di alam semesta kita. Versi kuat ini jauh lebih kontroversial di antara para ilmuwan karena asas jenis ini menimbulkan masalah tentang ketuhanan.

Menurut pikiran kita, bisa karena keberuntungan sedikit konstanta alam dibutuhkan untuk menerima nilai-nilai tertentu agar hidup dimungkinkan berada. Akan tetapi, tampaknya seperangkat besar dari konstanta fisikal harus menerima suatu berkas sempit dari nilai-nilai agar hidup terbentuk di alam semesta kita. Karena kejadian-kejadian jenis ini sangat mustahil, barangkali suatu kecerdasan ilahi (Allah) secara tepat memilih nilai-nilai itu agar hidup tercipta.

Ketika para ilmuwan pertama kali mendengar suatu versi dari asas antropik, mereka segera terkejut. Bentuk penalaran ini asing bagi mereka.

Argumen antropik adalah suatu versi yang lebih canggih dari argumen lama bahwa Allah menempatkan bumi pada jarak yang tepat dari matahari. Seandainya Allah menempatkan bumi terlalu jauh, maka bumi akan menjadi terlalu dingin. Argumen ini keliru: jutaan planet di galaksi barangkali terletak pada jarak yang keliru dari matahari, dan karena itu hidup di planet-planet itu mustahil ada. Akan tetapi, beberapa planet, secara kebetulan saja, berada pada jarak yang tepat dari matahari. Planet kita salah satu dari beberapa planet itu.

Sebagai akibatnya, kebanyakan ilmuwan menjadi kecewa karena asas antropik. Asas ini tidak memiliki kemampuan prediktif dan juga tidak bisa diuji melalui ilmu fisika teoritis.

Padahal, tujuan ilmu fisika teoritis adalah untuk “membuktikan secepat-cepatnya bahwa Anda sendiri keliru,” jelas Richard Feynman, seorang fisikawan tenar yang namanya sudah disebut dalam tulisan terdahulu. Akan tetapi, asas antropik mandul dan tidak bisa ditolak.

Perdebatan tentang asas antropik (dan karena itu tentang Allah) berhenti selama banyak tahun, sampai ia dihidupkan kembali oleh fungsi gelombang Stephen Hawking. Kalau Hawking betul, maka memang ada sejumlah tak terkira dari alam semesta paralel, banyak dengan konstanta fisikal yang berbeda-beda. Dalam beberapa di antaranya, proton mereras terlalu cepat, atau bintang-bintang tidak bisa menghasilkan unsur-unsur berat di atas besi, atau Kerkahan Besar (the Big Crunch) berlangsung terlalu cepat sebelum hidup mulai, dan seterusnya. (Kerkahan Besar adalah kebalikan dari Dentuman Besar; alam semesta yang mengembang karena Dentuman Besar kemudian menyusut dan mengerkah.) Sesungguhnya, sejumlah tak terbatas dari alam semesta paralel ini mati, tanpa memungkinkan hukum-hukum ilmu fisika membentuk hidup seperti yang kita tahu.

Salah satu alam semesta paralel itu adalah alam semesta kita. Di atasnya, hukum-hukum ilmu fisika cocok dengan hidup seperti yang kita tahu. Kalau ini benar, maka Allah tidak perlu dihadirkan untuk menjelaskan mengapa hidup, seberapa berharganya ia, dimungkinkan ada di alam semesta kita. Akan tetapi, ini membuka kembali kemungkinan adanya asas antropik lemah – yaitu, bahwa kita berada bersama banyak alam semesta yang mati, bahwa alam semesta kitalah yang cocok dengan hidup.

Kontroversi kedua yang dirangsang oleh fungsi gelombang Hawking dari alam semesta jauh lebih dalam dan sesungguhnya tidak terpecahkan. Ia disebut masalah kucing Schrodinger. Masalah ini akan disoroti dalam tulisan berikutnya.

0 komentar: