Pengantar: Meskipun tulisan ini dibuat beberapa tahun yang lalu, nilainya masih relevan dengan masa kini dan depan iptek di Indonesia. Ia suatu selingan dari pokok utama kita: ruang hiper.
Dibanding sarjana tiga negara Asia yang bersama Indonesia merdeka sesudah PD II, tidak satu pun sarjana Indonesia meraih hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi dan fisika. Pada tahun 2002, Daniel Kahneman dari Israel, merdeka 1948, meraih Hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi. Sementara itu, Abdus Salam dari Pakistan, suatu negara Dunia Ketiga yang merdeka 1947, memenangkan hadiah Nobel dalam ilmu fisika pada tahun 1979 bersama Sheldon L. Glashow dan Steven Weinberg dari Amerika Serikat. Sir Chandrasekhara Venkata Raman dari India, suatu negara Dunia Ketiga juga yang merdeka 1947, memenangkan hadiah Nobel untuk ilmu fisika pada tahun 1930. Tapi Indonesia yang merdeka 1945 tidak meraih satu pun hadiah itu dalam salah satu dari kedua bidang iptek tadi.
Nilai Strategis dan Visi
Tanpa strategi berdasarkan visi iptek yang jelas, suatu negara seperti Indonesia akan tertinggal dalam perkembangan ipteknya. Ketiadaan ini suatu penyebab utama ketertinggalan negara ini dalam bidang iptek. Ketertinggalan ini tidak akan menolong sarjana-sarjananya untuk meraih Hadiah Nobel dalam bidang ilmu fisika, kimia, fisiologi/kedokteran, dan ekonomi.
Meraih hadiah Nobel dalam bidang iptek bukan sekadar “pameran” dari kecemerlangan otak sarjana Indonesia. Pameran kecemerlangan otak bisa bersifat semu; ia belum tentu mewakili mutu pendidikan iptek yang sesungguhnya di Indonesia. Meraihnya karena itu punya dua nilai strategis. Pertama, ia suatu petunjuk bahwa pendidikan iptek di Indonesia bermutu dan merata di negara ini. Kedua, ia juga suatu petunjuk bahwa negara ini tidak akan tersisihkan dalam persaingan global menyangkut iptek abad ke-21.
Nilai strategis itu berkembang dari kebiasaan berorientasi ke masa depan. Mengapa Amerika Serikat, negara adi daya masa kini, berbeda dengan negara-negara lain? Ia berorientasi ke masa depan, jawab David Brooks dalam “Land of the Future,” laporan khususnya yang dimuat Newsweek (16-23 September 2002). Katanya, orientasi ke masa depan (future-mindedness), mampu melihat masa sekarang dari keuntungan masa depan, adalah suatu ciri khas orang AS. Bahkan Albert Einstein, ilmuwan tenar yang berimigrasi dari Jerman ke AS itu, mengakui orietansi pemikiran ini. “Orang Amerika hidup untuk tujuannya, untuk masa depan, bahkan lebih banyak dari pada orang Eropa,” katanya. “Kehidupan baginya adalah selalu menjadi (becoming), tidak pernah berada (being).” Itulah sebabnya bagian lain dari dunia melihat kepada negara adi daya itu untuk memperoleh gagasan-gagasan dan visi.
Jelaslah bahwa nilai strategis itu membutuhkan visi. Barangkali Visions tulisan Dr. Michio Kaku, seorang fisikawan teoritis AS berdarah Jepang, bisa memberi kita suatu bayangan tentang pentingnya nilai strategis itu.
Menurut Kaku, unsur-unsur yang membentuk pilar-pilar sains abad ke-20 mencakup materi, hidup, dan akal budi (mind). Pembelahan inti atom memampukan kita memahami lebih rinci sifat-sifat materi melalui dunia subatomik. Lalu, kita makin memahami hidup ketika inti sel diuraikan. Kemudian, pengembangan komputer elektronik meniru sistem kecerdasan dari akal budi manusia.
Kaku meramalkan bahwa kunci terobosan ilmiah abad ke-21 ditentukan oleh revolusi ilmiah dalam kuantum, komputer, dan DNA. Akan tetapi, yang mendasari ketiga pilar tadi adalah revolusi kuantum. Teori kuantum membatasi misteri materi pada dua gagasan dasar. Pertama, energi terjadi dalam berkas-berkas yang terpisah-pisah, disebut “kuantum” (bentuk tunggal) atau “kuanta” (bentuk jamak). Kedua, partikel-partikel subatomik memiliki kualitas partikel dan mirip gelombang. Menurut Dr. Kaku, di masa depan, revolusi kuantum akan memampukan kita memanipulasi dan mengkoreografi bentuk-bentuk materi yang baru, hampir sesuka hati kita. Revolusi inilah yang menolong menetaskan dua revolusi ilmiah hebat yang lain: revolusi biomolekuler – mencakup kristalografi sinar X serta teori ikatan kimiawi – dan revolusi komputer yang dimungkinkan oleh penemuan transistor dan laser yang sangat penting bagi Internet.
Kekayaan dan kemakmuran bangsa-bangsa masa depan dan bahkan redistribusi kekuasaan bangsa-bangsa di Bumi akan ditentukan oleh tanggapan mereka pada ketiga revolusi ilmiah tadi. Ramalnya: “Bangsa-bangsa akan naik dan jatuh berdasarkan kemampuannya menguasai ketiga revolusi ini.” Besar kemungkinan pemenangnya adalah bangsa-bangsa yang memahami sepenuhnya betapa pentingnya ketiga revolusi ilmiah ini. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang bersikap skeptik terhadap ketiga macam revolusi ilmiah tadi “akan menyadari dirinya disisihkan dalam pasaran global dari abad kedua puluh satu.”
Ada dua tema utama dari Visions. Pertama, kita tengah menuju masa peralihan antara “pengamat pasif dari Alam menjadi koreografer aktif dari Alam,” dari pengamat Alam sampai dengan abad ke-20 menjadi penguasa Alam abad ke-21 dan sesudahnya. Tema ini menyiratkan revolusi kuantum. Kedua, reduksionisme, suatu pendekatan ilmiah, tidak bisa lagi diandalkan untuk memecahkan masalah-masalah sains secara terpisah-pisah. Keterbatasan pendekatan ini menimbulkan sinergi antara tiga revolusi ilmiah fundamental dalam kuantum, komputer, dan DNA.
Jepang sudah menyadari pentingnya ketiga revolusi ilmiah tadi bagi kekayaan dan kemakmuran bangsanya dalam abad ke-21. Pada tahun 1990, Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional Jepang membuat suatu daftar teknologi-teknologi kunci yang akan dikembangkan untuk abad ke-21. Daftar itu mencakup mikroelektronika, bioteknologi, industri sains material yang baru, telekomunikasi, pembuatan pesawat terbang sipil, robot dan alat-alat mesin, dan komputer (perangkat keras dan lunak). “Tanpa kecuali, masing-masing dari teknologi itu yang dipilih untuk menuntun abad kedua puluh satu berakar kuat dalam revolusi kuantum, komputer, dan DNA,” Dr. Michio Kaku menyimpulkan.
Ramalan Kaku didukung oleh dua laporan utama mingguan Newsweek terbitan untuk 8-15 April 2002 dan 16-23 September 2002. Info yang relevan dengan ketiga revolusi ilmiah tadi dirangkum demikian:
1. Revolusi kuantum: Mobil-mobil yang menggunakan tenaga sel-sel akan dijual tahun 2012. Pada tahun 2052, hidrogen “bersih” diekstraksi dari air dan sepenuhnya menggantikan minyak untuk kebanyakan pemakaian; bahan bakar hidrogen dialirkan ke rumah dan sama sekali menggantikan minyak dan gas; dan bahan bakar hidrogen menggantikan bahan bakar fosil pada banyak mobil, bis dan pesawat terbang yang dirancang untuk bebas emisi.
2. Revolusi komputer: Pada tahun 2005, perbankan elektronik akan menggantikan uang tunai pada negara-negara maju; perangkat terjemahan menggantikan guru-guru bahasa asing (2010); dan teknologi grid menyatukan tenaga main frame, PC dan Internet pada tahun 2012. Mengenai grid, semua komputer akan dihubungkan pada suatu grid tunggal dan memampukan komputer apa pun memanfaatkan tenaga komputer-komputer lain, mirip dengan tenaga listrik pada berbagai bangunan yang diperoleh dari suatu pembangkit tenaga listrik sentral. Pada tahun 2014, akses komputer ke data medis akan meningkatkan pemeliharaan kesehatan diri sendiri; empat tahun kemudian, separuh barang-barang akan dijual online.
3. Revolusi DNA: Kloning dan manipulasi genetik untuk kesehatan manusia yang sudah dikembangkan sejauh ini akan diteruskan. Selanjutnya, pabrik penghijauan dan energi terbarukan akan berkembang pesat (2010); pertanian organik mendapat dukungan (2012); terapi genetik untuk menyembuhkan penyakit-penyakit keturunan menjadi lasim (2013); separuh sampah rumah didaur ulang (2013); dan orang tua menciptakan anak-anak yang dirancang secara genetik (2025)
Lalu, apa jadinya kalau visi Kaku yang diperkuat Newsweek nanti terbukti benar? Para sarjana Indonesia tanpa kesiapan iptek mungkin tidak akan mampu menjadi koreografer aktif dari Alam dan tetap mengandalkan reduksionisme. Ketertinggalan ini kemudian ikut menyisihkan Indonesia dari persaingan global dalam kuantum, komputer, dan DNA.
Kekurangan Dana, Fasilitas, dan SDM
Indonesia juga kekurangan dana, fasilitas, dan sumber daya manusia untuk mengembangkan iptek. Tampaknya, penyebab kekurangan ini mesti dicari pada korelasi antara kapasitas riset dan kekuatan ekonomi.
Dalam hal kapasitas riset, Indonesia tidak tergolong pada negara-negara yang menonjol dalam iptek sedunia. Pemahaman tentang ketertinggalan Indonesia dalam iptek bisa diamati dari berbagai data statistik.
Suatu laporan UNESCO menyatakan bahwa keluaran (output) publikasi ilmiah – artikel-artikel yang muncul dalam penerbitan-penerbitan ilmiah - masa kini masih didominasi Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. AS mendominasi lebih dari dua pertiga publikasi ilmiah. Ketiga kekuatan dunia ini menghasilkan publikasi ilmiah yang meningkat dari 73,3% pada tahun 1990 menjadi 74,8% pada tahun 1995.
Kemudian, ada 20 negara yang paling produktif dalam publikasi ilmiah antara 1990 dan 1995. AS, Inggris, dan Jepang pada urutan pertama (35,82%), kedua (9,24%), dan ketiga (8,67%) sementara Finlandia pada urutan terakhir (0,78%). India berada pada urutan ke-12 (1,94%) sementara Israel pada urutan ke-16 (1,17%).
Ditinjau dari tingkat pertumbuhan publikasi rata-rata tahunan antara 1980 dan 1995, Korea Selatan (24,49%), Cina (17,46%), dan Taiwan (15,96%) menduduki peringkat pertama, kedua, dan ketiga. Sementara itu, India mengalami penurunan penerbitan (-3,55%) dan berada pada peringkat tiga belas. Pakistan pun tidak tergolong pada negara-negara Asia yang menonjol dalam publikasi ilmiah, menurut UNESCO.
Data PBB yang berlaku antara 1996 dan 2003 menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara yang kuat juga dalam penggunaan teknologi. Dibanding dengan Israel, misalnya, Indonesia tertinggal dalam penggunaan teknologi, seperti rincian berikut:
Penggunaan teknologi | Indonesia | Israel |
Kendaraan bermotor (per 1.000 orang) | 25 | 270 |
Saluran telepon (per 1.000 orang) | 3 | 47 |
Internet (diperkirakan) | 1.450.000 | 1.100.000 |
Penerimaan televisi (per 1.000 orang) | 68 | 288 |
Sirkulasi koran (per 1.000 orang) | 23 | 288 |
Untuk menafsirkan statistik tadi secara lebih cermat, kita perlu mempertimbangkan jumlah populasi dan GDP per kapita setiap negara tadi. Berdasarkan statistik PBB antara 1996 dan 2003, jumlah populasi total Indonesia dan Israel pada tahun 2001 berturut-turut adalah 214.840.000 dan 6.172.000 orang. Kemudian, per kapita dolar AS untuk Indonesia adalah 627 sementara untuk Israel, 12.372.
Statistik tadi dengan demikian menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal dari Israel dalam berbagai hal. Ia berada di bawah Israel dalam hal GDP per kapita dolar AS, pemakai kendaraan bermotor, pemakai saluran telepon, penerima televisi, dan pembaca koran. Dalam hal penggunaan Internet, Israel sebenarnya mengungguli Indonesia kalau persentase pemakai pada kedua negara itu dihitung. Seluruh penduduk Israel sekitar 6 juta dan penduduk Indonesia sekitar 215 juta orang Ini berarti jumlah total penduduk Indonesia sebanyak sekitar 35,8 kali jumlah total penduduk Israel. Tapi persentase pemakai Internet di Israel sebanyak 2,6 kali lipat persentase pemakai Internet di Indonesia. Jumlah pemakai Internet di Israel kira-kira 18,3% dari jumlah total penduduk. Sementara itu, jumlah pemakai Internet di Indonesia sebanyak sekitar 6,7% atau sekitar 7 persen dari populasi total. Seandainya populasi total Israel adalah sekitar 215 juta (jumlah total orang Indonesia), maka 18,3% dari mereka yang memakai Internet ini menjadi sekitar 39.3 juta orang Israel. Ini sebanyak sekitar 36 kali lipat jumlah sesungguhnya dari pemakai Internet sebanyak 1.1 juta orang di Israel. Jelaslah bahwa Indonesia belum menjadi negara yang menonjol dalam bidang iptek modern.
Lalu, apa makna statistik dan penafsirannya tadi bagi prestasi siswa-siswa Indonesia dalam Olimpiade Fisika Asia dan para mahasiswa Indonesia dalam Olimpiade Matematika tahun 2003? Bukankah para siswa itu merebut 6 medali emas dan dua siswa menjadi juara harapan di Taiwan April 2003, mengakibatkan Indonesia menjadi juara satu sementara Israel juara empat? Bukankah tim mahasiswa Indonesia merebut juara tiga di Teheran Juli 2003?
Kejuaraan-kejuaraan itu belum tentu menjadi indikator yang sahih dari mutu pendidikan iptek di Indonesia. Mereka yang mengikuti Olimpiade itu melalui hasil seleksi dan terbatas pada SMU serta perguruan tinggi terkenal di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta, Sumatra Selatan, dan Jambi – semuanya di Indonesia bagian Barat. Tidak ada yang berasal dari bagian lain Sumatra, Indonesia bagian Tengah dan Timur. Pendidikan iptek yang bermutu terbatas dan tidak merata. Keterbatasan dan kepincangan ini bukanlah petunjuk yang bisa dipercaya tentang mutu pendidikan iptek di Indonesia.
Dari segi kekuatan ekonomi, Indonesia bukanlah negara yang kuat. Suatu laporan dari Kelompok Bank Dunia menggolongkan ekonomi Indonesia bersama India dan Pakistan pada tingkat penghasilan yang rendah (low-income economies) sebesar 735 dolar AS atau kurang dari itu. Sementara itu, Israel digolongkan pada negara dengan pendapatan tinggi, yaitu 9.076 dolar AS atau lebih. Dalam hal utang, Indonesia tergolong pada 50 negara di dunia dengan utang luar negeri yang sangat parah (severely indebted).
Jadi, kekurangan dana, fasilitas, dan SDM di Indonesia untuk mengembangkan iptek disebabkan oleh ketiga faktor tadi. Indonesia kurang menonjol dalam kemampuan riset ilmiah, kekuatan teknologi, dan kekuatan ekonomi.
Kurangnya Pendidikan IPTEK
Kurangnya pendidikan iptek yang bermutu dan merata merupakan penyebab utama ketiga dari kelemahan Indonesia dalam iptek. Diperkirakan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang bermutu dalam pendidikan iptek di Indonesia sedikit sementara sejumlah besar lembaga-lembaga pendidikan formal kurang atau malah tidak menonjol dalam pendidikan ipteknya. Selain itu, mutu pendidikan iptek di Indonesia tidak merata. Umumnya, pendidikan iptek yang bermutu terbatas pada beberapa lembaga pendidikan formal di Indonesia bagian Barat.
Dalam Olimpiade Fisika Asia di Tawan April 2003 antara siswa-siswa SMU, Indonesia meraih juara umum. Mereka memenangkan 6 medali emas dan 2 honorable mention (juara harapan). Para peraih medali emas mencakup Rangga Perdana Budaya dari SMU Taruna Nusantara Magelang, Jawa Tengah; Hani Nukbiantoro S (SMU Sedes Sapiantiae, Semarang, Jateng); Bernard Ricardo(SMU Regina Pacis, Bogor, Jawa Barat); Yudistira Virgus (SMU Xaverius I Palembang, Sumatra Selatan); Widagdo Setiawan (SMU Negeri I Denpasar, Bali); dan Tri Wyono Darsowiyono (SMU Negeri 3 Yogyakarta). Juara harapan diraih Yendi dari SMU Negeri 3 Jambi dan Muhammad Abdurahman Atanimi dari SMU Negeri 6 Surabaya, Jawa Timur.
Olimpiade Matematika yang diikuti suatu tim mahasiswa dari Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan iptek di Indonesia terbatas dan tidak merata. Antara 22 dan 25 Juli 2003, empat negara mengirimkan tim-tim mahasiswanya mengikuti olimpiade itu di Universitas Teknologi Istahan, Iran. Tim Indonesia yang meraih juara tiga diikuti oleh Suharto Anggoro dari Universitas Indonesia, Jakarta; Aljupri (Universtas Pendidikan Indonesia, Jakarta); Ivanky Saputra dan Hery Mulyana (ITB); dan Henry Pribawanto Suryawan (Universitas Gajah Mada, Yogyakarta).
Para peserta kedua jenis Olimpiade itu berasal dari berbagai SMU dan perguruan tinggi di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Selatan, dan Jambi. Semua kawasan ini tidak berada di Indonesia bagian Timur atau Tengah tapi di Indonesia bagian Barat dalam jumlah terbatas. Ini menunjukkan keterbatasan dan kepincangan pendidikan iptek di Indonesia.
Ada berbagai penyebab keterbatasan dan kepincangan ini dalam pendidikan formal di Indonesia. Kebijakan nasional yang kurang mendorong pendidikan iptek, seperti IPA; metode penyajian yang kurang jelas dan memikat dari materi pengajaran iptek; mutu yang rendah dari guru dan dosen iptek, seperti pengajar IPA; dan keterbatasan atau ketiadaan dana serta fasilitas pendidikan iptek adalah beberapa penyebab itu.
Tampaknya, sebab-sebab ini atau gabungannya ikut menurunkan mutu pendidikan di Indonesia sehingga menghasilkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah di Asia. IPM, kita tahu, adalah suatu indikator utama dari mutu pendidikan di suatu negara. Pada tahun 2000, Program Pembangunan PBB (UNDP) menempatkan IPM Indonesia pada urutan ke-109 dari 174 negara yang diteliti. Dua tahun kemudian, peringkat Indonesia naik menjadi 106 dari 170 negara yang diteliti UNDP. Peringkat ini jauh di bawah negara-negara ASEAN lain: Singapura (ke-22), Brunei Darussalam (ke-25), Malaysia (ke-56), Thailand (ke-67), dan Filipina (ke-77).
Kurangnya Penerangan IPTEK
Penyebab utama yang keempat adalah kurangnya penerangan iptek kepada masyarakat Indonesia pada umumnya. Budaya iptek belum merasuki akal budinya. Kalau “pengkondisian” iptek sudah mendarah-daging, kekayaan pengalaman ini akan ikut melahirkan calon-calon peraih hadiah Nobel.
Berbagai negara sangat maju dalam iptek mempopulerkannya melalui media massa. Para penulis dan sutradara fiksi dan nonfiksi ilmiah dari AS, Uni Eropa, dan Jepang memasyarakatkan iptek untuk berbagai kelompok usia melalui perfilman, penerbitan, dan teknologi informasi.
Dalam penerbitan, misalnya, berbagai pakar dan penulis Barat nonfiksi mempopulerkan iptek untuk pembaca awam. Para penulis bacaan iptek konvensional memakai bahasa yang teknis, “kering,” tidak selalu mudah dipahami pembaca awam, dan ada kalanya menjemukan. Berbeda dengan mereka, para science popularizer (penulis yang mempopulerkan sains) ini malah menawan jutaan pembaca internasionalnya melalui kepiawaian dan kejelasan dalam gaya tuturnya. Mereka mencakup Carl Sagan, Stephen Hawking, Paul Davies, Lawrence M. Krauss, Michio Kaku, Robert Gilmore, dan David Wilkinson.
Salah satu kehebatan mereka memikat para pembaca awam adalah melalui afeksi. Mereka mampu membangkitkan rasa kagum, rasa pesona, yang kemudian berubah makin mendalam menjadi suatu “ketagihan.” Ketagihan ini diperkuat juga oleh gaya tuturnya yang sederhana, jelas, dan mudah dicerna.
Gaya tutur mereka bisa diamati melalui metode penjelasannya. Mereka sering memakai metode induktif untuk menjelaskan berbagai teori atau hukum iptek, seperti yang berlaku dalam ilmu fisika dan matematika, melalui berbagai cara. Cara-cara penjelasan itu mencakup ilustrasi imajiner, ekperimen pikiran (thought experiment), sketsa, tabel, gambar, kisah pribadi, foto, novel, mitologi, analogi, perumpamaan, alegori, dan film fiksi ilmiah. Sering rumus-rumus yang membingungkan pembaca awam, seperti yang ada dalam ilmu fisika dan matematika, malah mereka kurangi atau bahkan tiadakan. Dengan gaya tuturnya yang memanfaatkan berbagai cara penjelasan tadi, mereka mampu menawan pembaca awam untuk membaca karya-karyanya selama berjam-jam tanpa merasa bosan!
Ambil Robert Gilmore, seorang dosen ilmu fisika pada Universitas Bristol di Inggris, sebagai contoh penjelasan. Gilmore memakai alegori untuk menjelaskan secara mempesona ilmu fisika kuantum yang tidak selalu mudah dipahami pembaca umum. Dengan memakai analogi dongeng terkenal, Alice in Wonderland, dia menulis bukunya, Alice in Quantumland, untuk menjelaskan ilmu fisika kuantum melalui suatu alegori yang menawan karena berisi petualangan yang mengherankan dari Alice, kali ini di Tanah Kuantum.
Science popularizer Barat tenar lain yang memakai metode penjelasan tadi adalah Lawrence Krauss. Kedua bukunya, The Physics of Star Trek (1995) dan Beyond Star Trek (1997) memperjelas dan bila perlu menjernihkan hukum-hukum ilmu fisika modern yang berlaku dalam serial fiksi ilmiah tenar itu. Saking populernya buku pertama sehingga ia sudah diterjemahkan beberapa tahun yang lalu oleh Gramedia ke dalam bahasa Indonesia dan – menurut info lisan yang kami dengar dari suatu sumber yang dipercaya – laris sekali!
Kelebihan-kelebihan para penulis ilmiah populer dari Barat tadi membawa kita pada sebab utama keempat orang Indonesia agak lemah dalam iptek. Sedikit sekali orang Indonesia yang berminat mempopulerkan iptek melalui buku-buku tulisannya sendiri. Singkat kata, kurang berkembangnya iptek di Indonesia disebabkan oleh kurangnya upaya untuk membangkitkan kecintaan pembaca awam pada iptek.
Selain buku-buku, iptek bisa dipopulerkan melalui film-film fiksi ilmiah dan dokumenter. Serial Star Wars, Star Trek, dan film-film fiksi ilmiah terkenal lain seperti Back to the Future, Contacts, dan Encounters of the Third Kind – terlepas dari berbagai kesalahan fakta dan logika di dalamnya – bermanfaat untuk merangsang minat pelajar, siswa, dan mahasiswa pada ilmu fisika. Di samping itu, berbagai film dokumenter tentang teknologi ruang angkasa, ilmu kedokteran, ilmu kimia, dan ilmu fisika modern seperti yang disebarkan BBC dan National Geographic Magazine bermanfaat juga. Semua film ini memberikan informasi audio-visual yang mempermudah penyerapan informasi tentang iptek modern.
Tampaknya belum ada penulis Indonesia sekaliber George Lucas atau Stephen Spielberg yang secara serius mempopulerkan iptek melalui film-film fiksi ilmiah. Tapi mulai tampak sedikit upaya penulis-penulis tertentu untuk membuat film-film dokumenter yang agak serius. Jelaslah bahwa Indonesia pun kekurangan science popularizer melalui film-film. Kekurangan ini ikut mengakibatkan kurangnya kecintaan pemirsa awam pada iptek.
Bagaimana Meraih Hadiah Nobel?
Untuk memampukan otak-otak cemerlang dalam iptek di Indonesia meraih Hadiah Nobel di masa depan, apa yang harus kita lakukan? .Kita harus mencari pemecahan yang tepat atas keempat penyebab utama masalah iptek di Indonesia sejauh ini.
Pertama, kita perlu menyadari bahwa nilai strategis dari meraih Hadiah Nobel itu mesti berdasarkan suatu visi yang jelas tentang pengembangan iptek di Indonesia. Visi Dr. Michio Kaku tentang revolusi ilmiah dalam bidang kuantum, komputer, dan DNA dalam abad ke-21 yang dikukuhkan oleh dua laporan Newsweek layak kita pertimbangkan dan laksanakan. Kita juga perlu membiasakan diri berpikir ke depan, demi memajukan iptek
Kedua, kita perlu dana, fasilitas, dan sumber daya manusia yang memadai untuk mengembangkan iptek di Indonesia. Kalau kunci kemajuan yang hebat dari iptek di AS, Uni Eropa, dan Jepang terletak pada korelasi antara kemampuan riset dan kekuatan ekonomi, kita perlu menetapkan persentase tertentu dari dana riset bagi pengembangan iptek. Dana ini terutama mesti dari pemerintah. Kalau sektor bisnis di Indonesia tidak kuat karena tidak sebanding dengan kekayaan negara, dana swasta belum tentu bisa memberi dampak yang berarti bagi pengembangan iptek di Indonesia. Dana itu selanjutnya tidak akan memadai kalau utang luar negeri Indonesia sangat besar sementara penerimaannya kecil. Dengan dana yang memadai, kita bisa membuat fasilitas baku dan menyediakan SDM yang bermutu untuk mengembangkan iptek.
Ketiga, Indonesia perlu menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan merata dalam bidang iptek, termasuk di SMU dan perguruan tinggi. Bakat-bakat iptek tidak ada hanya di Indonesia bagian Barat; ia ada juga di Indonesia bagian Tengah dan Timur. Dua contoh dari Indonesia bagian Timur. Dr. Hans Jacobus Wospakrik (1952-2005), seorang alumnus dan dosen ITB asal Papua dalam ilmu fisika teoritis, dinilai oleh Veltman (yang bersama Gerardus ‘t Hooft dari Belanda memenangkan Hadiah Nobel untuk Ilmu Fisika) sebagai “cemerlang.” Septinus George Saa, seorang siswa SMA Negeri 3 Buper Jayapura asal Papua, mengherankan pakar ilmu fisika nasional dan internasional dengan “Rumus George Saa” temuannya. Rumus siswa kelas 3 SMA unggulan ini adalah penyederhanaannya terhadap dua hukum Kirkoff yang selama ini rumit dan sulit diterapkan. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa bakat iptek ada pada otak-otak berbagai anggota kelompok etnik di seluruh Indonesia. Tanpa pendidikan iptek yang bermutu dan merata, kita bisa saja memboroskan otak-otak potensial dalam iptek itu secara sia-sia!
Keempat, kita perlu membudayakan iptek melalui penerangan iptek kepada masyarakat umum di Indonesia. Sarana strategis untuk mengkondisikan semangat iptek pada masyarakat adalah melalui media massa: koran, mingguan, majalah, radio, televisi, film, buku-buku ilmiah populer, milis dan situs Web tentang iptek, karya sastra berdasarkan iptek, yaitu fiksi ilmiah. Untuk mendapat hasil yang maksimum, pembudayaan ini sebaiknya dimulai sejak usia dini. Mozart, si jenius dalam musik klasik itu, mulai kecintaannya pada musik sejak masa kanak-kanak. Serupa dengan dia, anak-anak dengan bakat iptek bisa berkembang menjadi cemerlang dalam iptek kemudian hari kalau mereka menempuh pendidikan iptek yang bermutu sejak usia dini.
Kalau keempat saran tadi dipenuhi, otak-otak cemerlang masa depan dalam bidang iptek di Indonesia bisa meraih Hadiah Nobel. Bukan itu saja. Perkembangan iptek bisa pesat dan memampukan kita bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam bidang kuantum, komputer, dan DNA.
Acuan
1. Braun, Tibor, Wolfgang Glanzel, Andrias Schubert, “A Global Snapshot of Scientific Trends,” dalam http://www.unesco.org/courier/1999-05/uk/dossier/intro21.htm
2. Brooks, David, “Land of the Future,” dalam Newsweek (16-23 September 2002) halaman 80-1
3. Davies, Paul, The Mind of God (New York: Simon & Schuster, 1993).
4. Guterl, Fred, “Beyond Oil The Energy Squeeze,” dalam Newsweek (8-15 April 2002) halaman 48-9.
5. Foroohar, Rana, “Life in the Grid,” dalam Newsweek (16-23 September 2002) halaman 58-63.
6. Gilmore, Robert, Alice in Quantumland An Allegory of Quantum Physics (New York: Copernicus Springer-Verlag New York, Inc., 1995).
7. Hawking, Stephen, Riwayat sang Kala Pengantar oleh Carl Sagan Penerjemah Dr. A. HadyanaPudjaatmaka Cetakan ke-IV (Jakarta: P.T. Pustaka Utama Graffiti, 1995)
8. “IDB Countries Ranked by Population” dalam http://www.census.gov/cgi-bin/ipc/idbrank.pl
9. “Indonesia Juara Umum Olimpiade Fisika Asia” – Rabu, 30 April 2003 dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/30/utama/285678.htm
10. Kaku, Michio, Visions How Science Will Revolutionize the 21st Century (New York: Anchor Books Doubleday 1997)
11. __________, Hyperspace A Scientific Odyssey through Parallel Universes, Time Warps, and the 10th Dimension (New York: Oxford University Press, 1994)
12. Khudori dkk., “Mengunyah Fisika Meraih Hadiah.” Gatra 1 Mei 2004 hal. 88-89.
13. Khudori, “Formula George Saa.” Gatra 1 Mei 2004 hal. 89.
14. Krauss, Lawrence, The Physics of Star Trek (New York: Basic Books, 1995)
15. _____________, Beyond Star Trek (New York: Basic Books, 1997)
16. “Mahasiswa Indonesia Juara III Olimpiade Matematik” – Selasa, 29 Juli 2003 dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/29/dikbud/457942.htm.
17. Sagan, Carl, The Demon-Haunted World (New York: Random House, 1995)
18. “Science and Technology Indicators Announced by NISTEP” dalam http://www.mext.go.jp/english/news/2000/04/9000414.htm
19. Simanungkalit, Salomo, “Fisikawan dari Papua yang Membuana,” Kompas Jumat, 5 September 2003, hal. 12 kolom 3-6.
20. _________________, “Fisikawan Hans Wospakrik Meninggal.” Kompas Rabu, 12 Januari 2005, hal. 11 kolom 1-3.
21. The Nobel Prize Internet Archive dalam http://almaz.com/nobel
22. Wilkinson, David, God, the Big Bang and Stephen Hawking (Tunbridge Wells, Kent: Monarch Publications 1993)
23. “World Bank Group – Data and Statistics” dalam http://www.worldbank.org/countryclass/classgroups.htm
1 komentar:
Terima kasih penjelasannya tentang IPTEK dan Pengaruhnya yang cukup lengkap ini. Salam kenal...
Posting Komentar