Sifat mirip waktu dari ruangwaktu akan Anda pahami lebih baik kalau Anda tahu lebih dahulu dan secara mendasar tentang sifat dan paradoks waktu. Keanehan waktu, termasuk perbedaan usia karena pengaruh waktu yang berbeda, bisa Anda simak melalui hukum relativitas khusus dari Albert Einstein.
Pandangan alkitabiah tentang waktu yang ditekankan pada konvergensi kearifan ilmiah dan alkitabiah dalam menyoroti penciptaan alam semesta menurut kitab Kejadian dan astronomi abad ke-20 dibahas. Nara sumbernya adalah Dr. Gerald L. Schroeder, seorang fisikawan tamatan MIT di AS yang kemudian pindah ke Israel untuk bekerja di sana dan tinggal di Yerusalem.
Relativitas Khusus Einstein
Pada tahun 1905, Albert Einstein mengajukan postulasinya tentang asas relativitas khususnya. Menurut asas itu, kecepatan cahaya sama dalam semua kerangkanya yang bergerak secara tetap. Kedengaran lugu tapi ini salah satu prestasi terbesar roh manusia, bahkan dipandang sebagai salah satu ciptaan ilmiah terbesar dari akal budi manusia selama 2 juta tahun usia spesis manusia di planet Bumi. Dari asas ini, kita bisa membuka rahasia energi-energi yang luar biasa yang dilepaskan bintang-bintang dan galaksi-galaksi.
Mobil tetap tidak bisa menyamai kecepatan kereta api
Memang, itu suatu pernyataan yang sederhana, tapi kesimpulannya sangat dalam. Untuk memahami asas relativitas khusus ini lebih jauh, kita akan memakai suatu analogi tentang sebuah mobil dan kereta api yang sama-sama berpenumpang. Mobil ini mencoba mendahului kereta api. Anggap saja ada seorang pejalan kaki di trotoar yang mencatat waktu mobil kita. Mobil itu melaju secepat 99 kilometer per jam sementara kereta api itu melaju secepat 100 kilometer per jam. Sejarah wajar, kita di dalam mobil melihat kereta api mendahului kita sejauh 1 kilometer per jam. Kecepatan ekstra ini hasil penambahan atau pengurangan kecepatan, seperti penambahan atau pengurangan bilangan-bilangan biasa yang lain.
Sekarang, kita mengganti kereta api dengan suatu pancaran cahaya, tapi mempertahankan kecepatan cahaya pada 100 kilometer per jam. Pejalan kaki masih mencatat waktu mobil kita; mobil ini melaju pada kecepatan 99 kilometer per jam. Pada kecepatan ini, mobil kita mengejar pancaran cahaya tadi. Terjadi keanehan. Menurut pejalan kaki, kita sebentar akan mencapai kecepatan 100 kilometer per jam karena pengemudi kita menaikkan laju mobil kita agar 1 kilometer di depan kita bisa kita capai untuk berada pada sisi pancaran cahaya itu. Akan tetapi, perhitungan kita keliru. Menurut asas relativitas khusus Einstein, pancaran cahaya yang kita lihat dari dalam mobil kita melaju sejauh 1 kilometer di depan kita sebenarnya melaju 100 kilometer per jam. Lebih aneh lagi, kita melihat pancaran cahaya melaju di depan kita seakan-akan kita dalam keadaan diam. Tidak mungkin, kita bilang. Karena penasaran, sopir mobil kita menancap gas pedal begitu rupa sehingga pejalan kaki di trotoar itu mencatat laju mobil kita pada kecepatan 99,99999 kilometer per jam. Sekarang, kita kira tinggal sedikit sekali kilometer dan kita sudah akan menyamai laju pancaran cahaya. Akan tetapi, ketika kita menengok ke luar jendela mobil, kita melihat pancaran cahaya masih melaju di depan kita pada kecepatan 100 kilometer per jam.
Gila, kata kita yang kebingungan. Bagaimana mungkin kita tidak bisa menyamai kecepatan cahaya setinggi apa pun laju mobil kita dipacu? Lalu, kita menjadi tenang, mempertahankan laju mobil pada kecepatannya yang paling tinggi, dan berpikir jernih. Kita sekarang menarik beberapa kesimpulan yang aneh dan mengejutkan. Pertama, sekuat apa pun mesin mobil kita dipacu, pejalan kaki mengatakan pada kita bahwa kita bisa mendekati tapi tidak mungkin menyamai atau melampaui 100 kilometer per jam. Kecepatan 99,99999 kilometer per jam tampaknya adalah kecepatan maksimum mobil kita. Kedua, sedekat apa pun jarak kita dengan jarak pancaran cahaya, kita masih melihat pancaran cahaya di depan kita pada kecepatan 100 kilometer per jam, seakan-akan kita tidak bergerak sama sekali.
Tidak masuk di akal, kata kita. Bagaimana mungkin kita dalam mobil yang tengah melaju dan pejalan kaki di trotoar yang berdiri di satu tempat bisa mengukur kecepatan pancaran cahaya pada kecepatan yang sama? Dalam kehidupan sehari-hari, ini mustahil. Ini suatu paradoks. Ini seperti suatu lelucon besar dari alam.
Ada hanya satu jalan ke luar dari paradoks ini. Mau tidak mau, kita dituntun pada suatu kesimpulan yang mengejutkan. Kesimpulan ini sangat menggoncangkan pikiran Einstein ketika dia menemukannya pertama kali. Ini satu-satunya pemecahan yang dia temukan bagi teka-teki relativitas waktu tadi: waktu melambat bagi kita di dalam mobil. Kalau pejalan kaki itu mengambil sebuah teleskop dan meneropongi kita dari dalam mobil, dia melihat setiap orang bergerak sangat lambat. Akan tetapi, kita di dalam mobil tidak sekalipun menyadari bahwa gerak kita sangat diperlambat oleh waktu yang melambat. Mengapa tidak? Otak kita pun melambat dan segala sesuatu tampak wajar bagi kita. Lebih mencengangkan lagi, pejalan kaki itu melihat bahwa mobil kita menjadi rata searah dengan geraknya ke depan. Mobil sudah menyusut seperti sebuah akordeon. Dan kita di dalamnya? Tidak sekalipun kita merasakan susutan mobil karena kita juga sudah menyusut.
Ruang dan waktu mengecoh kita
Analogi tadi menunjukkan satu dan lain hal tentang sifat dan paradoks waktu. Kita menyimak dari eksperimen pikiran tadi bahwa ruang dan waktu mengecoh kita. Dalam eksperimen sesungguhnya, para ilmuwan sudah menunjukkan bahwa kecepatan cahaya selalu adalah c, yaitu, velositas atau kecepatan cahaya yang sama, tidak peduli secepat apa pun laju mobil kita. Ini karena semakin cepat kita melaju, semakin lambat jam kita berdetik dan semakin pendek jadinya penggaris kita. Mengapa jam kita melambat dan penggaris kita menyusut secukupnya? Perubahan ini perlu supaya kita memperoleh hasil ukuran yang sama bila kita mengukur kecepatan cahaya.
Akan tetapi, mengapa kita di dalam mobil tidak merasakan akibat distorsi ruang dan waktu? Otak kita berpikir makin lambat, dan tubuh kita juga makin gepeng ketika kita mendekati kecepatan cahaya. Perubahan ini malah suatu “berkat” bagi kita karena tanpa disadari kita sudah diubah menjadi panekuk yang pikirannya menjadi lamban.
Meskipun demikian, efek-efek relativistik ini terlalu kecil untuk dilihat dalam kehdupan sehari-hari karena kecepatan cahaya begitu tinggi. Anggap saja ada seorang lelaki dewasa bernama Victor yang sekaligus seorang fisikawan yang tahu benar tentang distorsi ruang dan waktu pada kecepatan yang mendekati kecepatan cahaya. Victor juga seorang komuter kereta api Jatinegara-Jakarta Kota. Sambil menunggu di peron stasiun kereta api Jatinegara, dia membayangkan apa jadinya seandainya kecepatan cahaya hanya 50 kilometer per jam, sekarang dialihkan menjadi kecepatan kereta api yang akan ditumpanginya. Dia naik kereta api dan ketika kereta api itu menderu-deru memasuki stasiun Kota, ia tampak terpencet, seperti sebuah akordeon. Kereta api itu menjadi suatu irisan logam yang gepeng setebal 30 sentimeter yang meluncur pada rel kereta api. Setiap orang di dalam mobil-mobil sepanjang rel kereta api itu tampak setipis kertas. Mereka juga secara praktis membeku dalam waktu, seolah-olah mereka patung-patung yang tidak bergerak. Akan tetapi, ketika kereta api itu direm supaya berhenti, ia tiba-tiba mengembang sampai irisan logam berangsur-angsur mengisi seluruh stasiun kereta api Kota.
Meskipun distorsi ini barangkali tampak aneh, Victor dan para penumpang lainnya di dalam kereta api itu sama sekali tidak menyadari perubahan ini. Tubuh mereka dan ruang itu sendiri dipadatkan bersamaan dengan arah gerak kereta api itu; segala-galanya tampak punya bentuknya yang normal. Selanjutnya, otak mereka melambat dan mengakibatkan mereka bertindak wajar di dalam kereta api komuter itu. Ketika kereta api itu akhirnya berhenti di stasiun Kota, Victor dan penumpang lain di dalamnya sama sekali tidak menyadari apa yang mencengangkan mereka yang melihat kereta api itu dari luar. Mereka menyaksikan kereta api yang tadinya menyusut sekarang mengembang secara ajaib sampai ia mengisi seluruh peron itu. Jadi, ketika Victor dan para penumpang turun, mereka tidak menyadari sekalipun bahwa perubahan-perubahan hebat yang disyaratkan relativitas khusus sudah terjadi pada kereta api itu, suatu analogi dari kecepatan cahaya.
Inti Teori Relativitas Khusus
Apa inti teori relativitas khusus Einstein? Ada dua sisi inti teori ini: pertama, waktu adalah matra (dimension) keempat; dan, kedua, hukum alam disederhanakan dan disatukan dalam matra-matra yang lebih tinggi. Kini, waktu dan ruang akan dikaitkan secara dialektik (berlawanan arah) dengan relativitas khusus.
Dua ciri esensial keindahan teori ilmu fisika
Dimensi lebih tinggi ada kaitannya dengan apa yang disebut para fisikawan sebagai “keindahan” dalam teori-teori ilmu fisika. Yang mereka maksudkan dengan keindahan ini punya sekurang-kurangnya dua ciri esensial. Pertama, suatu teori ilmu fisika punya keindahan kalau ia punya suatu simetri yang menyatukan segala-galanya. Suatu contoh dari simetri dalam ilmu fisika adalah kemampuan ruang dan waktu untuk saling bergulir ke dalam dirinya sendiri dalam dimensi-dimensi yang lebih tinggi. Kedua, suatu teori ilmu fisika punya keindahan kalau ia punya kemampuan untuk menjelaskan jumlah yang sangat besar dari data eksperimental dengan ungkapan matematik yang paling irit. Persamaan tenar Einstein E = mc2 dan teori relativitas umumnya yang mengatakan bahwa materi-energi menetapkan kelengkungan ruangwaktu adalah dua contoh dari teori-teori ilmu fisika yang punya keindahan.
Simetri dalam dimensi lebih tinggi
Teori relativitas khusus Einstein pun menunjukkan simetri dalam dimensi-dimensi yang lebih tinggi. Untuk memahami cara dimensi-dimensi lebih tinggi menyederhanakan hukum-hukum alam, kita ingat bahwa benda apa pun punya ukuran panjang, lebar, dan tinggi atau dalam. Simetri tampak ketika kita punya kebebasan untuk merotasi suatu benda sebanyak 90 derajat. Karena itu, kita bisa memutar ukuran panjangnya menjadi ukuran lebar dan ukuran lebarnya menjadi ukur tinggi atau dalam. Dengan suatu rotasi sederhana, kita bisa mengubah-ubah setiap dimensi spasial. Sekarang, kalau waktu adalah matra keempat, maka ada peluang untuk membuat “rotasi-rotasi” yang mengubah ruang menjadi waktu dan waktu menjadi ruang. “Rotasi-rotasi” caturmatra ini justru adalah distorsi ruang dan waktu yang disyaratkan relativitas khusus. Dengan kata lain, ruang dan waktu sudah bercampur dengan satu cara yang esensial, dan dikendalikan oleh relativitas. Kalau begitu, apa artinya waktu sebagai dimensi keempat? Artinya, waktu dan ruang bisa saling berotasi ke dalam dirinya menurut suatu cara yang secara matematik tepat. Mulai sekarang, kedua-duanya harus diperlakukan sebagai dua sisi dari jumlah yang sama: ruangwaktu. Jadi, menambahkan suatu matra yang lebih tinggi menolong kita menyatukan hukum-hukum alam.
Waktu berdetik pada tingkat yang berbeda
Menurut teori relativitas khusus juga, waktu berdetik pada tingkat yang berbeda, tergantung pada seberapa cepatnya seseorang bergerak. Waktu sebagai dimensi keempat berarti waktu secara intrinsik terkait dengan gerak dalam ruang. Seberapa cepatnya suatu jam berdetik tergantung pada seberapa cepatnya ia bergerak dalam ruang. Eksperimen-eksperimen yang rinci yang dilakukan dengan jam atomik yang dikirim ke orbit keliling bumi sudah memberi konfirmasi bahwa suatu jam di bumi dan suatu jam yang ditembak dengan roket ke angkasa luar berdetik pada tempo yang berbeda.
Untuk memahami asas relativitas khusus tentang jam yang berdetik pada tempo yang berbeda, bayangkanlah bahwa kita diundang ke reuni alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1970-an di Balai Sarbini, Jakarta Pusat, pada tanggal 1 September 2007, mulai pukul 7 malam. Pada era ini, semua mahasiswa berusia, katakanlah, 20 tahun pada tahun 1970 – termasuk yang lahir 1 September 1950. Pada malam reuni itu, semua undangan yang datang saling bersalaman sesudah tidak berjumpa selama 37 tahun; sekarang, semuanya sudah berusia 57 tahun. Tanda-tanda menjadi tua tampak di mana-mana: rambut yang dulu hitam dan lebat kini menjadi uban dan jarang, kulit wajah yang dulu segar dan kencang sekarang mulai keriput, tubuh yang dulu gagah dan kuat kini tampak kurang gagah dan agak loyo. Kita semua berasumsi bahwa waktu berdetik secara seragam untuk semuanya. Kita semua beranggapan bahwa masing-masing menjadi tua pada tempat yang sama.
Lalu, kita tiba-tiba dikagetkan oleh kehadiran seorang lelaki yang berbeda sekali dengan kita. Anggap saja namanya Tom yang seperti kita semua berusia 20 tahun juga pada tahun 1970. Tapi yang mencengangkan kita semua ialah bahwa 37 tahun kemudian ketika kita berusia 57 tahun dan membawa bermacam-macam tanda ketuaan pada diri kita, Tom malah tampak masih berusia 20 tahun! Untuk mengikuti reuni ini, dia terbang ribuan kilometer dari Amerika Serikat, tiba di Jakarta 31 Agustus, dan datang menghadiri reuni ini. Sejak 1970, dia pindah ke AS bersama orang tuanya dan menjadi warga A.S. Apa rahasia awet muda Tom?
Seperti seorang profesor ilmu fisika tentang keanehan ruang dan waktu dalam dimensi yang lebih tinggi, Tom menyingkapkan rahasia awet mudanya, suatu pengalaman yang unik. Rahasianya, demikian Tom, ada pada waktu yang berbeda dengan waktu kita dan yang dia alami. Kalau waktu adalah dimensi keempat maka ruang dan waktu saling merotasi ke dalam dirinya dan jam berdetik pada kecepatan yang berbeda, tergantung seberapa cepatnya jam itu bergerak.
Sebagai penerapan asas relativitas khusus ini, Tom yang baru saja kuliah di AS menumpang sebuah roket yang melesat ke ruang angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Karena penerbangan ini suatu proyek eksperimen rahasia pemerintah AS, orang tuanya – ayahnya berusia 40 dan ibunya 35 tahun pada tahun 1970 ketika eksperimen itu diadakan – yang ikut mengantarnya ke landasan peluncuran roket itu mengira puteranya akan kembali dalam waktu beberapa hari. Ternyata, mereka menunggu selama 37 tahun tanpa kabar apa pun dari pemerintah AS tentang Tom. Mereka percaya dia sudah meninggal. Tiba-tiba, Tom muncul di rumah orang tuanya di Los Angeles dan mencengangkan mereka dengan penampilannya. Sementara ayahnya sudah berusia 77 tahun dan ibunya 72 tahun, puteranya malah masih berusia 20 tahun! Mengapa usianya seperti tahun 1970? Rahasianya ada pada kecepatan roket yang ditumpanginya. Roket itu melaju ke ruang angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Karena kecepatan ini, waktu dalam roket itu melambat bagi Tom sementara di Los Angeles waktu berjalan normal. Selisih waktu antara Tom dalam roket yang membawanya ke ruang angkasa dan kembali dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya dan orang tuanya di Los Angeles adalah beberapa menit dibanding 37 tahun. Itulah sebabnya ketika dia mendarat, ke luar roket itu dan bertemu kembali dengan orang tuanya, usianya selama sekian menit perjalanannya .dalam roket sepadan dengan masa 37 tahun yang dialami orang tuanya di Los Angeles. Dalam usia yang sama itulah dia muncul di reuni alumnus Fakultas Sastra UI di Sarbini 1 September 2007 dan mengagetkan kita semua yang sudah tua, bahkan ada di antara kita yang sudah punya cucu.
Resep untuk kita yang ingin tetap berusia 57 tahun dan mereka yang ingin tetap berusia 20 tahun atau lebih muda dari itu? Terbanglah dengan pesawat yang mendekati kecepatan cahaya atau malah lebih dari itu dan pulanglah kembali ke rumah di bumi sesudah terbang antara 1 jam dan 1 bulan atau 30 x 24 jam = 720 jam. Di atas kertas, saran ini bisa Anda laksanakan. Tapi sesungguhnya, saran ini sulit atau mustahil Anda lakukan dengan teknologi penerbangan ruang angkasa masa kini.
Visualisasi tentang sifat dan paradoks waktu bisa Anda akses melalui http://www.youtube.com/. Masuklah ke situs ini lalu ketiklah pada kotak dialog Search frasa seperti: special relativity theory einstein. Lalu, kliklah Search dan Anda akan menonton berbagai visualisasi dari relativitas khusus itu. Suatu pengantar yang baik ke dalam teori relativitas khusus Einstein adalah video berjudul Einstein's Special Theory of Relativity E=mc2 speed of light. Tapi Anda bisa menonton video terkait lainnya untuk lebih memahami secara audio-visual teori yang sulit ini.
Pandangan Teologis tentang Waktu
Bagaimana pandangan teologis alkitabiah tentang sifat dan paradoks waktu? Menurut teologia ini, hukum-hukum alam kekal, tercakup dalam Diri Allah alkitabiah yang kekal, tak bertara. Hukum-hukum alam adalah sedikit ciri dari Ketakbertaraan ini; dari kekekalan Allah yang diproyeksikan ke dalam alam semesta fisikal. Waktu, misalnya, bisa dikatakan adalah proyeksi kekekalan Allah ke dalam suatu alam semesta material yang bertara.
Lima belas miliar tahun sama dengan enam hari penciptaan
Salah satu kisah alkitabiah yang menyangkut waktu dan menimbulkan banyak pertanyaan adalah kisah penciptaan dalam 6 hari dalam kitab Kejadian. Kisah ini, kalau dibaca sesuai naskah harfiahnya, bertabrakan dengan hasil penelitian astronomi abad ke-20 bahwa alam semesta kita berusia antara 15 miliar dan 20 miliar tahun. Kleim mana yang benar: Alkitab atau sains modern?
Jawab Dr. Gerard L. Schroeder, seorang fisikawan tamatan MIT AS yang membatasi usia alam semesta menurut sains pada 15 miliar tahun, bahwa kedua-duanya benar! Sifat-sifat tertentu waktu memungkinkan 15 miliar tahun usia alam semesta, menurut astronomi modern, sama dengan 6 hari penciptaan, menurut kitab Kejadian. Setiap hari dalam kisah penciptaan alkitabiah tadi sama dengan 24 jam.
Bagian-bagian yang relevan dari jawaban Schroeder saya ringkaskan untuk Anda. Ini dia jelaskan dalam salah satu bukunya, The Science of God the Convergence of Scientific and Biblical Wisdom (New York: The Free Press, 1997).
Sesudah mengajar di MIT, dia pindah ke Lembaga Weizmann di Israel dan tinggal di Yerusalem. Publikasi ilmiahnya banyak; hasil-hasil penelitiannya dilaporkan mingguan Time dan Newsweek, dan koran-koran terkemuka di manca negara. Selama 25 tahun, Schroeder menekuni juga suatu kajian tentang penafsiran alkitabiah dengan fokus pada kitab Kejadian dalam bahasa Ibrani asli.
Dua perspektif yang berbeda tentang suatu keseluruhan
Menurutnya, Alkitab dan sains bisa dilihat sebagai dua perspektif yang berbeda tentang suatu keseluruhan yang tunggal. Dalam bukunya, dia menawarkan suatu pembahasan yang cemerlang dan beragam tentang berbagai topik, termasuk perkembangan alam semesta. Kepercayaan religius dipertinggi oleh suatu penyelidikan yang cermat tentang dunia, dan sains yang jujur menghendaki kerendahan hati ketika dihadapkan pada kekayaan yang mencengangkan dari penciptaan hidup.
Dr. Schroeder mengatakan tidak ada dikotomi antara sains dan agama. Yang ada adalah dualitas: ada kebenaran ilmiah dan ada kebenaran rohani. Masing-masing timbul dari sumber yang berbeda: pengetahuan dan kecerdasan yang menghasilkan kebenaran ilmiah dan iman yang menjadi landasan bagi kebenaran rohani.
Dengan memakai logika, pengetahuan ilmiah, dan penafsiran alkitabiah dari naskah-naskah kuno, dia membahas dualitas sains dan Alkitab untuk mencapai konvergensi kearifan ilmiah dan alkitabiah. Untuk itu, dia mengandalkan keajekan (consistency) inheren dari alam. “Keajekan alam adalah suatu doktrin dasar dari semua penyelidikan ilmiah,” tandasnya. Keajekan ini adalah juga suatu doktrin dasar dari agama alkitabiah. Lanjutnya, hukum-hukum alam memadai untuk menyalurkan alam semesta kita ke arah pengembangan dan pelestarian hidup.
Penafsiran alkitabiah dan ilmiah tentang penciptaan enam hari
Jadi, bagaimana usia enam hari dari kisah penciptaan menurut Alkitab bisa didamaikan dengan kisah penciptaan alam semesta 15 miliar tahun yang lalu, menurut astronomi modern? Schroeder mendamaikan kedua asal usul penciptaan yang berbeda ini melalui penafsiran alkitabiah dan ilmiah yang cemerlang.
Ada korelasi yang secara mengherankan baik antara waktu kosmik dalam kisah penciptaan alkitabiah dan waktu yang terikat pada Bumi. Waktu akitabiah adalah enam hari penciptaan langit dan bumi; waktu Bumi adalah waktu sesudah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, waktu penciptaan alam semesta 15 miliar tahun yang lalu. Waktu pernciptaan selama enam hari berturut-turut boleh dibilang adalah waktu yang terkompresi dari waktu penciptaan alam semesta yang berusia 15 miliar tahun.
Keanehan waktu yang terkompresi tadi disebut dua kali dalam Alkitab. Dalam Mazmur 90:4, kita baca: Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam. (Ayat relevan lain terdapat dalam 2 Petrus 3:8: “. . . di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari.) Waktu alkitabiah boleh jadi berbeda dengan waktu yang kita kenal sekarang.
Untuk memahami dua contoh relativitas khusus ini, kita tidak boleh mengandalkan arti harfiah kedua ayat tadi. Menurut Schroeder, kita harus menggali lebih dalam, menggali makna tersembunyi kedua ayat tadi yang punya kaitan dengan kisah penciptaan.
Untuk memerikan waktu dalam Alkitab secara tepat, kita membaginya dalam dua kategori. Pertama, keenam hari pertama dan, kedua, semua waktu sesudah itu.
Berbeda dengan kisah penciptaan alam semesta menurut astronomi modern yang di dalamnya urutan waktu penciptaan disebut, kisah penciptaan selama enam hari dalam Alkitab tidak berisi rincian per hari tentang detik atau menit ke berapa daratan dipisahkan dari air dan tumbuhan muncul – dua dari sekian peristiwa besar yang terjadi. Yang diberikan adalah semacam refrein dari waktu 24 jam sesudah ciptaan-ciptaan selesai. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama. Bentuk kalimat yang sama diulangi dengan menggantikan kata “pertama” dengan “kedua”, “ketiga”, “keempat”, “kelima”, dan “keenam”. Tapi begitu manusia pertama muncul dan jatuh ke dalam dosa, peristiwa-peristiwa sekarang menjadi penyebab timbulnya aliran waktu. Misalnya, Adam dan Hawa – yang sudah diusir dari Eden – hidup 130 tahun. Seth hidup 105 tahun. Inilah awal kalender-kalender bumi. Keenam hari penciptaan tidak dicakup dalam kalender bumi ini karena dalam enam hari yang masing-masing berdurasi 24 jam itu tersimpan semua rahasia dan usia alam semesta.
Semua rahasia dan usia alam semesta seperti apa? Penafsiran suatu kebenaran yang tersembunyi dalam naskah harfiah atau naskah permukaan Alkitab menunjukkan bahwa keenam hari penciptaan pertama bisa diukur dari sudut-pandang suatu jam penunjuk waktu universal berdasarkan panjang gelombang cahaya. Panjang-gelombang cahaya itu mulai dengan Dentuman Besar, awal terciptanya alam semesta kita. Ini adalah suatu durasi yang sangat bertepatan dengan usia 15 miliar tahun dari alam semesta kita, seperti yang diukur dalam tahun-tahun di Bumi.
Akan tetapi, durasi keenam hari dalam kitab Kejadian dilihat secara berbeda dari tiga sudut-pandang yang berbeda juga. Setiap sudut-pandang ini saling bertautan.
Dari sudut-pandang Alkitab, waktu ciptaan yang dimulai pada hari pertama dilihat mengalir ke arah depan. Setiap hari dari enam hari penciptaan sama dengan 24 jam.
Waktu penciptaan mengalir ke belakang
Dari sudut-pandang Bumi, waktu penciptaan yang dimulai 15 miliar tahun yang lalu dilihat mengalir ke arah belakang. Padanan antara hari penciptaan menurut Alkitab dan usia penciptaan menurut waktu Bumi demikian:
- Hari satu 24 jam = 8 miliar tahun.
- Hari dua 24 jam = 4 miliar tahun.
- Hari tiga 24 jam = 2 miliar tahun.
- Hari empat 24 jam = 1 miliar tahun.
- Hari lima 24 jam = 0.5 miliar tahun.
- Hari enam 24 jam = 1.25 miliar tahun.
Dari sudut-pandang Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan, perkiraan jumlah tahun sebelum dia jatuh ke dalam dosa dimulai setiap hari.
- Hari satu 24 jam = 15. 75 miliar tahun.
- Hari dua 24 jam = 7.75 miliar tahun.
- Hari tiga 24 jam = 3.75 miliar tahun.
- Hari empat 24 jam = 1.75 miliar tahun.
- Hari lima 24 jam = 0.75 miliar tahun.
- Hari enam 24 jam = 0.25 miliar tahun
Menurut Gerald L. Schroeder, kisah penciptaan menurut kitab Kejadian dan astronomi abad ke-20 sama-sama betul tentang waktu munculnya umat manusia. “Ketika orang bertanya apakah enam hari atau 15 miliar tahun berlalu sebelum munculnya umat manusia,” komentarnya, “jawaban yang betul adalah ‘ya.’”
Penjelasan lebih lanjut Schroeder tentang sifat dan paradoks waktu dalam hubungan dengan kisah penciptaan langit dan bumi diperjelas dalam tulisan berikut. Tulisan ini mengenai berbagai penafsiran ilmiah dan teologis tentang Dentuman Besar.
2 komentar:
Knpa byk ilmuwan tlalu silau thd teori relativitas waktu dan ruang, pdhal belum terbukti sama sekali.
Juga pdhal Einstein pernah keliru dgn Teori alam semesta stasioner-nya.
Akhirnya para ilmuwan itu seperti menyampaikan tahayul modern saja.
Baca pula "Jawab persoalan fisika" (http://islamagamauniversal.wordpress.com/2012/01/11/big-light-vs-big-bang-5/).
Knpa byk ilmuwan tlalu silau thd teori relativitas waktu dan ruang, pdhal belum terbukti sama
sekali.
Juga pdhal Einstein pernah keliru dgn Teori alam semesta stasioner-nya.
Akhirnya para ilmuwan itu seperti menyampaikan tahayul modern saja.
Baca pula "Jawab persoalan fisika" (http://islamagamauniversal.wordpress.com/2012/01/11/big-light-vs-big-bang-5/).
Posting Komentar